Minggu, 06 Desember 2009

Periode Demokrasi Liberal
Masa sebelum pemilu
Dengan disetujuinya hasil Konfrensi Meja Bundar pada 2 November 1949 di Den Haag maka terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian dengan masing-masing luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Di antara negara-negara bagian yang terpenting selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak adalah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Sebagai kepala negara pertama terpilih Ir. Soekarno, sedangkan Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri dari kabinet RIS yang pertama. Tokoh-tokoh yang duduk dalam kabinet tersebut adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Wilopo, Prof. Soepomo, Dr. Leimina, Arnold Mononutu, Anak Agung Gde Agung, Ir. Herling Laoh, Sultan Hamid II dan lain-lain.
Kabinet ini merupakan zaken kabinet dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada kekuatan partai politik yang dalam keanggotaannya sebagian besar mendukung negara kesatuan RI dan hanya segelintir orang yang mendukung sistem federal yakni Sultan Hamid II sehingga gerakan untuk membubarkan negara federal dan membentuk negara kesatuan semakin kuat. Lebih-lebih karena dasar pembentukan negara federal sangat lemah. Tidak ada ikatan ideologis yang kuat atau tujuan kenegaran yang jelas. Kenyataannya, negara ferderal ini ciptaan Belanda dan bukan kehendak rakyat negara-negara bagian itu.
Negara-negara bagian federal tidak mempunyai kekuatan militer sendiri yang dapat dipakai untuk mempertahankan negerinya. Kekuatan militer yang ada hanyalah pasukan-pasukan Belanda yang terdiri dari KL (Koninklijk Leger) : Tentara Kerajaan) dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) : Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Pada masa RIS ini tidak sedikit cobaan yang dihadapi pemerintah dan juga rakyat. Sebagai sebuah negara baru yang diakui kedaulatannya, Indonesia harus menghadapi rongrongan dari dalam yang dilakukan oleh beberapa golongan yang mendapat dukungan dan bantuan dari pihak Belanda atau mereka yang takut kehilangan hak-haknya bila Belanda meninggalkan Indonesia.
Pemberontakan APRA.
Sesuai dengan persyaratan Persetujuan Den Haag, Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang berkekuatan 65.000 orang akan dibubarkan. Dari segi politik militer, pembubaran ini merupakan suatu kemenangan bagi bangsa Indonesia, akan tetapi ditinjau secara teknis dan psikologis sangat berat untuk dilaksanakan karena jumlah KNIL yang puluhan ribu dengan tata organisasi dan mentalitas yang berbeda, menyebabkan timbulnya ketegangan antara bekas-bekas KNIL dengan para tentara APRIS. Selain menyita biaya yang besar untuk ransum makanan dan biaya angkutan, sikap kolonialistis dari KNIL ini banyak melahirkan ketegangan terhadap kedua belah pihak. Pertikaian dipicu oleh berbagai faktor yaitu sangat terlihat keengganan para anggota TNI (APRIS) untuk menerima para bekas tentara KNIL ke dalam kesatuan mereka karena TNI merasa telah berkorban dan berjuang demi kemerdekaan dan tentu saja tidak mau menerima bekas musuhnya yang lebih setia kepada Belanda. Namun berdasarkan keputusan KSAD No.40/KSAD/PH/50 tanggal 7 Februari 1950 dan perintah KSAD No:384/KSAD/PH/1950 yang berisi penetapan reformasi dan konsolidasi antara bekas KNIL untuk digabungkan dengan APRIS/TNI sebagai intinya. Keputusan tersebut mengakibatkan anggaran belanja tidak mencukupi dan yang menjadi korban adalah para anggota TNI yang diberhentikan untuk efesiensi dana serta memangkas pengeluaran negara.
Adalah seorang Raymond Pierre Westerling yang berhasil mengkonsolidasi tentara KNIL untuk mengadakan pemberontakan terhadap RIS dengan mendirikan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tujuan utamanya adalah sebagai langkah awal untuk mewujudkan pemerintahan sendiri yaitu Pemerintahan Ratu Adil Indonesia (RAPI).
Westerling tidak saja mendapat bantuan dari pihak Belanda dan Inggris, namun juga dari para pengusaha non-pribumi yang dipimpin oleh GoanYoe Thio, Sultan Hamid II serta adanya tokoh-tokoh Negara Pasundan, Wiranatakusuma dan Kusna Puradipradja yang bertindak sebagai penasehat Westerling.
Sebelum melakukan serangan, Westerling mengirimkan Ultimatum terhadap Pemerintah RIS agar kekuasaan militer di daerah Pasundan diserahkan saja pada APRA, mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) kurang mampu melaksanakan tugas itu.
Gerakan APRA mengkonsentrasikan penyerangan di dua kota utama yakni Bandung dan Jakarta karena dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa Kota Bandung merupakan salah satu kota yang strategis baik secara politik maupun militer. Apabila kota Bandung dapat dilumpuhkan dan Divisi Siliwangi dikuasai maka salah satu pusat kekuatan militer RIS akan hancur dan akan memudahkan untuk melaksanakan rencana selanjutnya yaitu menduduki Jakarta yang merupakan kota terpenting dan merupakan pusat pemerintahan RI. Apabila kedua kota tersebut dapat dikuasai maka secara otomatis pemerintahan RI dapat diambil alih.
Pasukan APRA yang terdiri dari kurang lebih 800 orang menyerang kota Bandung pada pagi buta tanggal 23 Januari 1950. Kota Bandung berhasil dikuasai oleh APRA yang menyerang dengan membabi buta dan rencana selanjutnya adalah melakukan penyerangan ke Kota Jakarta di saat sidang menteri sedang berlangsung. Namun atas kesigapan APRIS yang didatangkan dari Jawa Tengah, gelombang APRA dari Bandung yang bersiap melakukan penyerangan ke Jakarta dan telah ditunggu oleh pasukan lain yang dipimpin Westerling berhasil digagalkan
Kegagalan itu membuat Westerling berusaha untuk menghindar dari penangkapan oleh pemerintah RIS dengan melarikan diri ke Singapura namun berhasil ditangkap oleh Pemerintah Singapura dengan tuduhan memasuki wilayah Singapura tanpa izin. Karena tidak adanya hubungan diplomasi dan perjanjian ektradisi antara RIS dengan Singapura, permohonan pengembalian penjahat perang ditolak oleh pihak Singapura.
Setelah melalui proses penyidikan dan penelusuran bukti-bukti, diketahui bahwa selain Westerling terdapat tokoh lain yang terlibat dengan gerakan APRA yaitu Sultan Hamid II yang merupakan salah satu tokoh federal dan menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Forte Feolio dan sebenarnya menginginkan jabatan menteri pertahanan dan membuat sebuah alibi untuk menghindarkan kecurigaan atas keterlibatannya.

Peristiwa Andi Azis Di Makassar
Ketika Negara Indonesia Timur dibentuk, Andi Azis diangkat sebagai ajudan Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan II KNIL. Pada tahun 1947 Ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer dan kembali ke Makassar pada tahun 1948. Sekembalinya di Makassar Ia diangkat menjadi Komandan Divisi VII yang anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Ia dipercayai untuk membentuk satu kompi pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya. Kompi inilah yang kemudian diresmikan oleh Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS . Namun pada perkembangan selanjutnya Ia menggunakan pasukan itu untuk melakukan pemberontakan atas hasutan Dr. C. Soumakil, Menteri Kehakiman Indonesia Timur dan berhasil menguasai kota Makassar serta menawan Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta.
Atas tindakannya tersebut Presiden Soekarno memberikan ultimatum kepada Andi Aziz untuk menyerahkan diri dalam tempo 3 x 24 jam. Panggilan tersebut tidak dipenuhinya dan Ia tetap melakukan pemberontakan
Di akhir tahun 1950 Ia diundang lagi oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap di Jakarta dan ditemani oleh pamannya, Andi Patoppoi, seorang Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur, Anak Agung Gde Agung serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Sesampainya di Pelabuhan Udara Kemayoran ia ditangkap oleh Polisi Militer dan dibawa ke pengadilan Wirogunan Yogyakarta serta dijatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi hanya delapan tahun saja yang dijalani. Dengan ditangkapnya Andi Azis, berakhir pulalah perlawanan terhadap pusat. Namun sisa-sisa pasukannya menggabungkan diri dengan pasukan Dr. Soumakil dan melakukan pemberontakan di Maluku dengan nama gerakan Republik Maluku Selatan.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Peristiwa ini terjadi di Ambon pada 25 April 1950 oleh orang-orang bekas KNIL dan pro Belanda di bawah pimpinan Mr. Dr. Ch. R. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Ia memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau yang terlibat Pemberontakan Andi Azis ke Ambon. Pada 25 April 1950, mereka mengumumkan berdirinya Republik Maluku Selatan setelah sebelumnya melakukan teror dan pembunuhan.
Pemerintah Pusat mencoba menyelesaikan peristiwa dengan mengirim misi yang diketuai Dr. Leimena berdasarkan hasil Konferensi Maluku di Semarang namun mengalami kegagalan sehingga pemerintah memutuskan untuk menumpasnya dengan kekuatan senjata dengan membentuk sebuah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang dan mulai melakukan penumpasan di pos-pos penting RMS yang memusatkan kekuatan pasukannya di Pulau Seram dan Ambon.
Setelah APRIS berhasil merebut kota Ambon dan menangkap tokoh mereka yang terlibat, sisa-sisa pasukan RMS yang masih ada melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan kegiatan pengacauan. Soumokil yang berhasil menyelamatkan diri, pada tahun 1962 berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, 12 April 1964.
Darul Islam
Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal dengan nama Darul Islam (DI) adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan Islam sebagai dasar negara.
Dalam kehidupannya, Kartosoewirjo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk mewujudkan cita - citanya, Kartosoewirjo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah yang menjadi tempat menimba ilmu keagamaan tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabillah. Dengan pengaruhnya, Kartosoewirjo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang dijadikannya sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dimulai ketika Jawa Barat kosong sebagai akibat Perjanjian Renville yang mengharuskan 35.000 pasukan TNI ditarik mundur ke daerah RI. Namun anggota-anggota Hizbullah dan Sabillah tidak menaati perintah untuk mundur dan tetap berada di Jawa Barat serta menguasainya. Mereka menggabungkan diri menjadi Darul Islam serta membentuk Negara Islam Indonesia.
Pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Pemerintah membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir. Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosoewirjo ke pangkuan RI. Operasi penumpasan memakan waktu yang lama karena DI Jawa Barat mengadakan kerjasama dengan asing yang juga berniat menggulingkan Pemerintah RI.
Pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha dan dengan bantuan rakyat dalam Operasi Pagar Betis, di tahun 1962, gerombolan DI dapat dihancurkan dan S.M. Kartosoewiryo diadili dan dipidana mati.
Gerakan Darul Islam di Jawa Tengah berbeda dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat. Penggeraknya adalah Majelis Islam di bawah Amir Fatah di derah Tegal dan Brebes, Gerakan Umat Islam pimpinan Moh. Mahfudh Abdul Rachman dan pemberontak Batalyon 423 dan 426 TNI yang melakukan desersi. Tujuanmya adalah membentuk NII dan bergabung dengan NII Kartosoewirjo. Melalui pembentukan pasukan baru yang disebut dengan Banteng Raiders dan Operasi Kilat, Operasi Banteng Negara dan Operasi Guntur, di tahun 1954 gerombolan tersebut dapat dihancurkan.
Di Aceh rongrongan terhadap pemerintah dilakukan oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya adalah khawatir akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa karena diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Pada tanggal 21 September 1949 Ia mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh merupakan negara bagian NII di bawah Kartosoewirjo.
Wilayah Aceh dikuasainya sambil menyebarkan fitnah yang berusaha memperburuk nama Indonesia di mata masyarakat Aceh. Untuk menghadapinya, pemerintah terpaksa menggunakan kekuatan senjata dan melakukan operasi pembersihan di samping melakukan pelurusan atas berita fitnah tentang RI yang disebarkan pemberontak. Pada tanggal 17-28 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas inisiatif Kolonel Jasin dan didukung oleh tokoh-tokoh pemerintah daerah sehingga pemberontakan dapat diakhiri dengan jalan musyawarah.
Di Sulawesi Selatan, gerakan DI dipimpin oleh Kahar Muzakar di mana dalam operasi penumpasannya memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit sebab gerombolan pemberontak dapat memanfaatkan keadaan medan dan lebih mengenal sifat rakyat setempat dengan menanamkan rasa kesukuan. Sebab utama pemberontakan adalah ambisi dari Kahar Muzakar untuk mendapatkan kedudukan pimpinan APRIS. Selama perang kemerdekaan Ia berjuang di Jawa dan setelah perang usai Ia kembali ke asalnya dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan yang kemudian bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan. Kahar muzakar menuntut agar semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan tidak dapat dipenuhi dan pemerintah hanya akan memasukkan anggota KGSS ke dalamn APRIS yang lolos penyaringan. Uluran tangan pemerintah dengan pemberian perlengkapan senjata kepada anggota KGGS yang lolos penyaringan tidak digubrisnya dan Ia melarikan diri ke hutan dengan perlengkapan senjata yang dibawa. Di dalam hutan Ia mulai bergrilya dan menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian NII kartosoewirjo. Operasi penumpasan pemberontakan berjalan alot dan pada Februari 1965, Ia berhasil ditembak mati.
Selain mendapat rongrongan terhadap kekuasaan RIS, Kabinet Hatta juga harus menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya dan hubungan luar negeri.
Pasca berbagai bentuk pemberontakan yang berusaha menggulingkan kekuasaan RI apalagi disinyalir adanya keterlibatan orang-orang dalam yang merasa tidak puas dengan pemerintah, secara politik berdampak terhadap lahirnya gagasan untuk membentuk negara persatuan, karena sistem federal dianggap tidak cocok dan telah gagal serta menimbulkan kelabilan politik di Indonesia. Mayoritas anggota senat RIS dan Majelis Permusyawaratan dan pemerintah RIS kemudian mengeluarkan undang-undang darurat mengenai pembubaran negara-negara bagian untuk kembali digabungkan dalam satu bentuk negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Maret 1950 berdasarkan Undang-Undang Darurat tahun 1950, pasal 130 meresmikan pembubaran negara-negara bagian di Indonesia dan peresmian sistem negara Indonesia yang baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia mengalami Kondisi yang buruk dengan terjadinya inflasi dan defisit anggaran. Pemerintah tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia, terutama mata uang Jepang dan Belanda. Kas negara dan bea cukai dalam keadaan nihil, begitu juga dengan pajak. Oleh karena itu, dengan sangat terpaksa pemerintah Indonesia menetapkan tiga mata uang sekaligus yaitu mata uang de javasche Bank , mata uang Hindia Belanda dan mata uang pemerintahan Jepang. Pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan lain yaitu menasionalisasikan Perusahaan dan perkebunan asing milik swasta asing, serta mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika, tetapi semua itu tidak memberikan hasil yang berarti dikarenakan adanya blokade ekonomi oleh Belanda dengan menutup akses ekspor impor yang mengakibatkan negara merugi. Pemerintah juga melakukan langkah drastis dalam bidang keuangan dengan melakukan pemotongan uang pada tanggal 19 maret 1950 yang menentukan bahwa uang yang bernilai 2,50 gulden ke atas dipotong menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengahnya. Walaupun banyak pemilik uang yang terkena imbas pemotongan uang tersebut.
Di bidang militer sendiri, pemerintah melakukan rasionalisasi terhadap angkatan perang sehingga pemerintah mulai bisa mengendalikan inflasi agar tidak cepat meningkat.
Usaha- usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengatasi masalah ekonomi adalah menyelenggarakan Konferensi Ekonomi pada bulan Februari tahun 1946. Agenda utamanya adalah usaha peningkatan produksi pangan dan cara pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan milik swasta asing.
Selain soal ekonomi, pemerintah juga harus menyelesaikan soal di bidang kepegawaian dan militer yang nanti berdampak pada masalah sosial. Selesainya perang membuat julmlah pasukan harus dikurangi untuk meminimalisai beban keuangan negara dan mereka perlu mendapat tempat penampungan bila didakan rasionalisasi. Meghadapi masalah ini pemerintah mencoba membuat usaha-usaah pembangunan untuk membuka kesempatan melanjutkan pelajaran dalam pusat-pusat pendidikan yang memberi pendidikan keahlian agar mereka memiliki kesempatan untuk menempuh karier baru
Dalam hubungannya dengan luar negeri, Kabinet Hatta menjalankan politik bebas aktif walaupun hubungan diplomatik masih lebih banyak dilakukan dengan negara-negara Berat dibandingkan dengan negara-negara Komunis.

Pembubaran RIS Menjadi RI
Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan dibentuk negara kesatuan baru. Persiapan pembentukannya sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, sebab di dalam negara-negara federal, keinginan untuk bersatu sudah lama timbul dan negara kesatuan yang baru terbentuk itu oleh kebanyakan masyarakat dianggap sebagai kelanjutan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Persetujuan antara RIS dan RI untuk membentuk negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950 setelah selama kurang lebih 2 bulan bekerja, panitia gabungan RIS dan RI yang bertugas merancang undang-undang negara kesatuan meyelesaikan tugasnya pada 20 Juli 1950. Kemudian diadakan perubahan di masing-masing DPR dan rancangan UUD negara kesatuan diterima baik oleh senat dan parlemen RIS maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat dan pada 15 Agustus, rancangan UUD tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
UUD 1950 ini mengandung UUD RI dan UUD RIS. Menurut UUD 1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah dengan persetujuan DPR. Presiden dapt mengeluarkan dekrit bila diperlukan dan kabinet bertanggung jawab kepada DPR dan DPR mempunyai hak untuk menjatuhksn kabinet atau memberhentikan menteri-menterinya secara individu.
Dalam NKRI ini, Indonesia dibagi ke dalam 10 provinsi yang mempunyai otonomi dan dari tahun 1950-1955 telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 4 kali. Dengan dijalankannya demokrasi parlementer ala Barat, di mana kedaulatan rakyat disalurkan melalui sistem banyak partai, kestabilan negara sukar didapat sebab parlemen dapat menjatuhkan kabinet bila partai oposisi dalam parlemen kuat. Karena tiap-tiap kabinet tidak berumur panjang, maka program-programnya tidak sempat dijalankan sebagaimana yang diharapkan dan menimbulkan banyak masalah baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun keamanan.
Beban lain yang juga menjadi masalah pemerintah adalah soal pengembalian Irian Barat ke tangan Indonesia di mana perundingan antara Indonesia dan Belanda yang dimulai semasa Kabinet Natsir mengalami kemacetan. Hal ini menimbulkan mosi Hadikusumo tentang pencabutan PP no.39/1950 tentang DPRS dan DPRSDS. Kabinet Natsir pun jatuh.
Presiden Soekarno segera menunjuk Mr. Sartono sebagai formatur kabinet dan oleh Mr. Sartono mandat tersebut dimulai dengan mengadakan koalisi PNI-Masyumi, namun usaha tersebut mengalami kegagalan. Pada hari itu juga presiden segera menunjuk Sidik Djojosukarto (PNI) dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Adapun program kabinet meliputi :
1. Menjaga keamanan dan ketertiban umum
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani
3. Mempercepat pemilu
4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya
Kabinet ini kembali jatuh setelah mendapat tentangan keras akibat ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat yang dianggap bahwa Indonesia telah masuk Blok Barat dan tidak sesuai dengan politik luar negeri bebas aktif.
Presiden menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai formatur kabinet dan dalam program kerjanya lebih ditujukan pada persiapan Pemilu I untuk Konstituante, DPR serta DPRD, kemakmuran, pendidikan dan keamanan rakyat, masalah pengembalian Irian Barat dan politik luar negeri bebas aktif.
Dalam program yang dijalankannya muncul kesukaran-kesukaran di antaranya dengan timbulnya provinsialisme dan bahkan sparatisme karena orang-orang daerah merasa kecewa dengan alokasi keuangan yang diberikan pusat kepada daerah lebih kecil daripada hasil ekspor yang mereka berikan untuk pusat. Untuk itu mereka menuntut otonomi daerah. Muncul perkumpulan-perkumpulan berlandaskan daerah seperti Paguyuban Daya Sunda dan Gerakan Pemuda Federal Republik Indonesia.
Selain soal kesukuan dan kedaerahan yang muncul, timbul pula permasalahan dalam angkatan darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober di mana terjadi ketegangan mengenai masalah interrn angkatan darat yang terjadi antara DPRS dengan para petinggi angkatan darat yang menganggap kebanyakan anggotan DPRS adalah orang-orang bentukan Belanda sehingga tidak memiliki riwayat perjuangan dan tidak usah mencampuri urusan militer lebih dalam. Akibat pertikaian yang merembet pada sidang parlemen, membuat perpecahan di dalam tubuh angakatan darat yang menyebabkan kabinet goyah apalagi ditambah masalah tentang peristiwa Tanjung Morawa di mana sesuai dengan KMB pemerintaha mengizinkan pengusaha asing mengusahakan tanah-tanah perkebunan sehingga membuat mosi tak percaya dalam parlemen dan Kabinet Wilopo pun jatuh. Wilopo diganti Ali Sostroamijoyo dengan membentuk Kabinet Ali I yang merupakan kabinet terakhir sebelum Pemilu I.
Di lain pihak, panitia persiapan Pemilu I diketuai oleh Hadikusumo. Pemilu untuk parlemen diadakan pada 29 Sepetember dan untuk Konstituante pada 15 Desember 1955.
Politik luar negeri yang menonjol masa itu adalah dengan adanya penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18 April 1955 yang menghasilkan Dasa Sila Bandung yang merupakan prinsip-prinsip bagi pemeliharaan dan perdamaian dunia. Keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan Konferensi adalah dengan terselesaikannya masalah dwi kewarganegraaan antara Indonesia dan RRC serta didukungnya Indonesia pada forum internasional untuk masalah Irian Barat.
Kabinet Ali I jatuh lantaran tidak dapat menyelesaikan perpecahan dalam tubuh angkatan darat sebagai kelanjutan Peristiwa 17 Oktober dan digantikan dengan kabinet Burhanudin.

Periode Setelah Pemilu I
Periode ini dimulai dengan dilaksanakannya pemilu I dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden tahun 1959 tentang kembali ke UUD 1945. Dengan selesainya Pemilu I, tugas Kabinet Burhanudin pun dianggap selesai dan perlu diadakan pembentukan kabinet baru dengan terbentuknya Kabinet Ali II yang merupakan koalisi PNI, Masyumi dn NU.
Program kabinetnya disebut dengan rencana lima tahun yang memuat soal-soal jangka panjang misalnya usaha memasukkan Irian Barat ke Indonesia, pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat pemilihan anggota DPR, mengusahakan perbaikan nasib buruh dan pegawai, menyehatkan keuangan negara dengan merintis ekonomi kerakyatan.
Kesukaran-kesukaran yang dialami oleh Kabinet Ali I di antaranya adalah dengan munculnya perasaan anti Cina. Apalagi dengan ditandatanganinya Undang-Undang Pembatalan KMB yang berarti menasionalisasi semua perusahaan milik Belanda. Di samping juga banyak pengusaha Belanda yang telah menjual perusahaannya kepada pengusaha non pribumi seperti orang-orang Cina yang sejak dulu telah memiliki kedudukan kuat dalam perekonomian Indonesia.
Adalah seorang Mr. Assaat yang menyatakan perlunya perlindungan terhadap pengusaha nasional karena tidak mampu bersaing dan atas sarannya tersebut melahirkan Gerakan Assaat yang menimbulkan perasaan Anti Cina.
Di lain pihak, juga terjadi rasa tidak senang daerah terhadap pemerintah karena alokasi dana daerah sangat minim dan tidak tercapainya tujuan untuk mengubah sistem parlementer sehingga mereka melakukan kegiatan ekstar parlementer. Muncullah gerakan-gerakan daerah anti pusat yang juga didukung oleh militer.
Keadaan tersebut menjatuhkan Kabinet Ali II dan Ali segera digantikan oleh Ir. Djuanda, tokoh independen. Keputusan ini diambil Presiden Soekarno karena mengibaratkan perpolitikan Indonesia seperti “politik dagang sapi”, yaitu tawar menawar kedudukan untuk membentuk kabinet kalisi.
Kabinet Djuanda memiliki 5 program kerja ( panca karya), karenanya disebut Kabinet Panca Karya. Adapun programnya adalah :
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan indonesia
3. Pembatalan KMB
4. Perjuangan Irian Barat
5. Pembangunan
Dewan Nasional mempunyai tujuan pokok untuk menampung dan menyalurkan pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan yang ada di dalam masyarakat, sebagai penasehat guna melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik. Walaupun telah dibentuk Dewan Nasioanl, keadaan negara semakin gawat saja dan untuk meredakan kedaan itu diadakan Munas pada 14 September 1957 dan di lingkungan angkatan darat dibentuk sebuah panitia yang disebut dengan Panitia Tujuh. Namun justru keadaan tak kunjung membaik dan lebih parah lagi terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa Cikini. Dengan adanya peristiwa tersebut menandai keadaan yang kembali bergejolak dan menimbulkan keadaan daerah yang ingin memisahkan diri dari pusat. Kembali bermunculan gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari pangkuan pertiwi . Namun pemerintah tidak tanggung-tanggung untuk menumpas semua pemberontakan tersebut dengan kekuatan militer. Selain juga sebagai tindakan preventif terhadap masuknya intervensi asing yang berdalih ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Setelah mengalami instabilitas politik yang berlarut-larut selama kurang lebih 10 tahun, masyarakat mulai berselera untuk memiliki pemerintahan yang kuat dengan pemimpin yang kuat pula sebagai upaya untuk melanjutkan pembangunan yang diharapkan. Lambat laun kekuasaan DPR hasil pemilu 1955 segera menghilang karena telah dibentuk Dewan Nasional sebagai penasehat pemerintah dan Dewan Perancangan nasional. Dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Dan dengan berlakunya dekrit tersebut, Djuanda mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet parlementer digantikan dengan kabinet presidensiil dengan Soekarno sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ing arso asung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani