Minggu, 06 Desember 2009


A.     ZAMAN TIMBULNYA KERAJAAN-KERAJAAN ARYA DAN JAMAN PEMERINTAHAN RAJA-RAJA MAURYA.
Kerajaan-kerajaan Arya yang ada pada masa itu adalah Gandhara, Kosala, Kasi dan Magadha yang kemunculannya  bersamaan dengan masa kehidupan Buddha dan Mahavira (600 SM). Empat kerajaan ini sering terjadi perang dalam memperebutkan hegemoni tunggal di India Utara dan kerajaan Magadhalah yang muncul sebagai pemenang.
Buddha berasal dari kavilavasti yang letaknya berada di kerajaan kosala. Kota benares dan gaya adalah kota yang berhubungna erat dengan kehidupan sang Buddha yang terletak di kerajaan magadha yang memerintah pada waktu itu adalah raja Bimbisara, sedangkan mahavira juga berasal dari keturunan raja-raja magadha.
Raja-raja Magadha yang terkenal adalah Susunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru/Kunika (554 SM).
Bimbisara adalah raja Magadha yang mempunyai kedudukan penting diantara Dinasti Haryanka. Sejak berumur 15 tahun ia sudah menjadi raja dan memeperluas kerajaannya dengan penaklukkan-penaklukkan. Kerajaan tergolong makmur karena di dalam kerajaan terdapat sungai yang mengandung unsure emas. Kekuatan magadha terletak pada pasukan kavaleri gajahnya. Ia berhasil mengadakan persekutuan dengan raja Kosala dan republic Vaisali yang dipererat dengan perkawinannya anatara dirinya dengan  putri Kosala dan putrid Vaisali  sehingga ia dihadiahi kota kasi dan daerah Nepal. Namanya sering disebut oleh para musafir cina karena jasanya dalam mendirikan ibukota Negara, Rajgir. Ia dibunuh oleh anaknya Ajatasatru dan Ajatasatru pun naik tahta.
Di masanya, Ajatasatru banyak memperoleh perlawanan dari Kerajaan Kosala yang membentuk persekutuan dengan beberapa kerajaan India Utara karena perbuatannya yang telah membunuh ayahnya. Dalam menghadapi serangan itu, ia membangun benteng yang kuat dan nanti menjadi ibu kota Magadha di Jaman Dinasti Maurya, Benteng Pataliggrama yang kemudian menjadi Pataliputra. Ia digantikan oleh putranya, Udayi yang kemudian memindahkan ibukota kerajaan dari Rajgir ke Pataliputra. Raja terakhir dari dinasti ini akhirnya dapat dikalahkan oleh Dinasti Sembilan Nanda yang memerintah India selama 100 tahun dan ketika masa pemerintahan dinasti ini, terjadilah krisis politik di India Barat Laut dengan adanya serangan dari Tentara Macedonia. Sedangkan di dalam negeri sendiri terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Chandragupta dan dibantu oleh seorang brahmana, Chanakya/ Kautilya. Pemeberontakan gagal dan memaksa Chandragupta melarikan diri ke India Utara.

B.     PENYERBUAN ISKANDAR YANG AGUNG KE-INDIA
            Iskandar Yang Agung (Iskandar Zu’l Karnain) adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang termasyur dalam sejarah barat purbakala. Gurunya adalah ahli filsafat Yunani, Aristoteles (384-322 SM)
            Ia menggantikan ayahnya ketika berumur 24 tahun dan bercita-cita meneruskan harapan sang ayah untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluasnya sampai ke-ASIA.
            Dengan cepat ia menaklukan Turki, Syria, Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria. Tujuh tahun setelah meninggalkan negerinya, ia dan bala tentaranya tiba di India, negeri yang penuh rahasia akan kekayaan dan hasil-hasil kebudayaan luhur.
            Setelah berhasil menguasai India Utara, atas desakan bala tentara dan janji-janji yang akan ia berikan atas pengabdian tentaranya, akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang dan menyerahkan kekuasaan atas India Utara kepada Raja Poros. Ia akhirnya sampai di Susa, Ibu Kota Persia dan kawin dengan seorang putri, Roxana. Akan tetapi dimalam perkawinannya ia justru wafat di usia 33 tahun.
            Pasca wafatnya sang raja, kerajaan yang ia bangun mulai runtuh dan terpecah belah. Daerah-daerah kekuasaannya dibagi rata oleh para panglima perangnya. Dalam tiga tahun, daerah-daerah India yang dulunya pernah ia kuasai berhasil melepaskan diri.
            Sejak zaman Iskandar Yang Agung, mulailah terjadi perhubungan timur dan barat, suatu lapangan yang menimbulkan soal-soal penting sampai masa sekarang. Kebudayaan hellenisme yang disebarkan oleh Iskandar di Turki lambat laun mulai menyebar kedalam kebudayaan India Kuno.

C.     PEMERINTAHAN RAJA-RAJA MAURYA
1.      CHANDRAGUPTA DAN BINDUSARA
Ketika Iskandar wafat, Chandargupta kembali membangkitkan semangat rakyat menetang pendudukan Yunani. Chandargupta berhasil mengalahkan Yunani di India Utara dan dari India Utara ia melanjutkan serangannya ke Kerajaan Magadha pimpinan Sembilan Nanda.Ia  lalu naik tahta dengan gelar Chandragupta Maurya. Ia Lahir pada 340 SM, berkuasa 320 – 298 SM. Ia berasal dari kasta sudra dan berhasil menjadi raja berkat perkawinannya dengan seorang putri dinasti Lichiavi, dinasti yang berasal dari Mongol dan terkadang Chandragupta dipanggil dengan sebutan Vrisala, suatu sebutan yang diperuntukan kepada orang kasta rendahan yang menjadi raja.
Seorang penulis di masa Chandragupta, Chanakya Kishnugupta atau Kautilya, adalah seorang Brahmin sekaligus penasehat raja ketika masih dalam pembuangan menulis undang-undang dan dinamai Kautilya-Arthasastra yang mengandung hal-hal penting dalam sejarah India Lama. Kitabnya ditemukan di Tanjore oleh seorang ahli Hindu, Shamasastri tahun 1906 yang nanti menafsirkan dan menerbitkannya kembali.
 Keterangan-keterangan dari Arthasastra menggambarkan Magadha sebagai negeri yang maju dan mempunyai kebudayaan yang tinggi. Di bawah raja terdapat raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah/provinsi. Pusat pemerintahan diserahkan kepada 18 departemen. Departemen pertahanan dibagi atas delapan begian. Berbagai jenis pajak sedah dijalankan dalam kerajaan ini. Untuk menambah hasil pertanian dilakukan pengairan dengan cara besar-besaran. Kaum Brahmana mendapat perlindungan yang luar biasa karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap raja.
Chandragupta berhasil menyatukan hampir seluruh sub benua India. Chandragupta dianggap sebagai penyatu India yang pertama
Sesudah terjadi kelaparan hampir 10 tahun lamanya, menurut berita kaum Jaina, Raja Chandra Gupta mengasingkan diri dan memeluk Agama Jaina karena ia merasa berdosa kepada rakyatnya dan diganti oleh putranya Bindusara yang bergelar Amitragatha yang berarti seorang penakluk. Ia berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke pegunungan Vindya di selatan dan menjadikan daerah ini sebagai provinsi ke-4 dengan nama Swarnagir. Dalam masa pemerintahannya ia lebih tertarik pada ilmu pengetahuan (filsafat Yunani) daripada bidang politik dan di istananya terdapat seorang ahli filsafat Yunani dari bangsa Yunani, Deimachos.. Ia mempunya banyak anak dan Rja Asokalah yang akan  menggantikannya kelak

2.      ASOKA

Asoka adalah putra Maharaja Bindusara dari seorang selir yang pangkatnya agak rendah dan bernama Dharma. Asoka memiliki beberapa kakak dan hanya satu adik, Witthasoka. Karena kepandaian yang meneladani dan kemampuannya berperang, ia dikatakan merupakan cucu kesayangan kakeknya, maharaja Candragupta Maurya.

Asoka Yang Agung (juga Ashoka, Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) adalah penguasa Kekaisaran Maurya dari 273 SM - 232 SM. Seorang penganut agama Buddha, Asoka menguasai sebagian besar anak benua India, dari apa yang sekarang disebut Afghanistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore. Ia adalah pemimpin pertama Bharata (India) Kuna, setelah para pemimpin Mahabharata yang termasyhur, yang menyatukan wilayah yang sangat luas ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan melampaui batas-batas wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.
Sementara ia berkembang menjadi seorang prajurit ulung yang sempurna dan seorang negarawan lihai, Asoka memimpin beberapa regimen tentara Maurya  sehingga membuat kakak-kakaknya menjadi cemburu karena mereka cemas ia bisa dipilih Bindusara menjadi maharaja selanjutnya. Kakaknya yang tertua, pangeran Susima, putra mahkota pertama, membujuk Bindusara untuk mengirim Asoka mengatasi sebuah pemberontakan di kota Taxila, di provinsi barat laut Sindhu, di mana pangeran Susima adalah gubernurnya. Taxila adalah sebuah daerah yang bergejolak karena penduduknya adalah sukubangsa Yunani-India yang suka berperang dan juga karena pemerintahan kakaknya, pangeran Susima kacau. Oleh karena itu dalam daerah ini banyak terbentuk milisi-milisi yang mengacau keamanan. Asoka setuju dan bertolak ke daerah yang sedang dilanda huru-hara. Maka ketika berita bahwa Asoka akan datang menjenguk mereka dengan pasukannya, ia disambut dengan hormat oleh para milisi yang memberontak dan pemberontakan bisa diakhiri tanpa pertumpahan darah. (Provinsi ini di kemudian hari memberontak lagi ketika Asoka memerintah, namun kemudian ditumpas dengan tangan besi).
Keberhasilan Asoka membuat kakak-kakaknya semakin cemas, maka hasutan-hasutan Susima kepada Bindusara membuatnya membuang Asoka. Asoka kemudian pergi ke Kalinga dan menyembunyikan jati dirinya. Di sana ia bertemu dengan seorang nelayan wanita bernama Karubaki, dan ia jatuh cinta. Prasasti-prasasti yang baru ditemukan menunjukkan bahwa ia kelak menjadi permaisuri selirnya yang kedua atau ketiga.
Sementara ada sebuah pemberontakan lagi, kali ini di Ujjayani (Ujjain). Maharaja Bindusara mengundang Asoka kembali setelah dibuang selama dua tahun. Asoka pergi ke Ujjayani dan pada pertempuran di sana terluka, tetapi para hulubalangnya berhasil menumpas pemberontakan. Asoka kemudian diobati secara diam-diam sehingga para pengikut setia pangeran Susima tidak bisa melukainya. Ia diurusi oleh para bhiksu dan bhiksuni beragama Buddha. Di sinilah ia pertama kalinya berkenalan dengan ajaran Buddha, dan di sini pula ia berjumpa dengan Dewi, yang merupakan perawat pribadinya dan putri seorang saudagar bernama Widisha. Maka setelah pulih, ia menikahinya. Hal ini tidak bisa diterima oleh Bindusara bahwa salah seorang putranya menikah dengan seorang penganut Buddha, maka beliau tidak memperbolehkannya tinggal di Pataliputra, tetapi mengirimnya kembali ke Ujjayani dan membuat menjadi seorang gubernur.
Tahun selanjutnya berjalan cukup tenang untuknya dan Dewi akan melahirkan putranya yang pertama. Sementara itu maharaja Bindusara mangkat. Sementara berita putra mahkota yang belum lahir menyebar, Pangeran Susima berniat untuk membunuhnya; namun si pembunuh justru membunuh ibunya. Menurut legenda, dalam keadaan murka, pangeran Asoka menyerang Pataliputra (sekarang Patna), dan memenggal kepala kakak-kakaknya semua termasuk Susima, dan membuangnya di sebuah sumur di Pataliputra. Pada saat tersebut banyak orang yang menyebutnya Canda Asoka yang artinya adalah Asoka si pembunuh dan tak kenal kasih.
Sementara Asoka naik takhta, ia memperluas wilayah kekaisarannya dalam kurun waktu delapan tahun kemudian dari perbatasan daerah yang sekarang disebut Bangladesh dan Assam di India di timur sampai daerah-daerah di Iran dan Afghanistan di barat; dari Palmir Knots sampai hampir di ujung jazirah India di sebelah selatan India.
Tahap-tahap awal kepemimpinan Asoka terbukti cukup haus darah, ia kemudian menjadi pengikut ajaran Buddha setelah menaklukkan Kalingga, daerah yang sekarang adalah negeri bagian India Orissa.
Kalingga adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaan dan demokrasinya. Dengan demokrasi monarki dan parlementernya, negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang secara dasar bersatu padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma.
Asal mula Perang Kalingga (265 SM atau 263 SM) tidak jelas. Salah satu saudara Susima kemungkinan melarikan diri ke Kalingga dan mendapat suaka secara resmi di sana. Hal ini sangat membuat murka Asoka. Ia diberi saran oleh para menterinya menyerang Kalingga untuk tindakan pengkhianatan ini. Asoka kemudian meminta Kalingga untuk tunduk kepada kekuasaannya. Ketika mereka menolak diktatnya, Asoka mengirimkan salah seorang panglima perangnya supaya mereka tunduk.
Sang panglima perang dan pasukannya kalah dan melarikan diri berkat kepandaian panglima perang Kalingga. Asoka yang tercengang akan kekalahan ini, menyerang dengan sebuah pasukan yang terbesar pernah ada dalam sejarah India sampai saat itu. Kalingga melawan dengan sengit tetapi mereka bukan padanan pasukan perang Asoka yang sangat kuat. Seluruh wilayah Kalingga dijarah dan dihancurkan: piagam-piagam Asoka di kemudian hari menyebutkan bahwa di sisi Kalingga kurang lebih 100.000 jiwa tewas sedangkan jumlah prajurit Asoka yang tewas kurang lebih 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang pula.
Setelah peperangan usai, Asoka menjelajah kota dan yang bisa dilihat hanyalah rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana. Hal ini membuatnya muak dan membuatnya memeluk agama Buddha serta memakai jabatannya untuk mempromosikan falsafah yang masih relatif baru ini sampai dikenal di mana-mana, sejauh Roma dan Mesir. Sejak saat itu Asoka, yang sebelumnya dikenal sebagai “Asoka yang kejam” (Canda Asoka) mulai dikenal sebagai sang “Asoka yang Saleh” (Dharmâsoka). Ia lalu mempromosikan aliran Buddha Wibhajyawada dan menyebarkannnya di dalam wilayahnya dan di seluruh dunia yang dikenal mulai dari 250 SM.
Dalam usahanya ini, ia dibantu oleh putranya Mahinda yang mulia dan putrinya Sanghamitta dan yang membawa agama Buddha ke Sri Lanka. Asoka membangun ribuan stupa dan vihara bagi penganut Buddha. Stupa-stupa di Sanchi sangat termasyhur dan stupa bernama Sanchi Stupa I didirikan oleh Maharaja Asoka.
Selama sisa masa pemerintahannya, ia menganut kebijakan resmi anti-kekerasan ahimsa. Bahkan penyembelihan dan penyiksaan sia-sia terhadap hewan pun dilarang. Margasatwa dilindungi dengan undang-undang sang maharaja yang melarang pemburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Pemburuan secara terbatas diperbolehkan untuk maksud konsumsi namun Asoka juga mempromosikan konsep vegetarianisme. Asoka juga menaruh belas kasihan kepada para narapidana di penjara. Mereka diperbolehkan mengambil cuti, sehari dalam waktu setahun. Ia berusaja meningkatkan ambisi profesional rakyat jelata dengan membangun pusat-pusat studi yang mungkin bisa disebut universitas. Ia juga mengupayakan system irigasi bagi pertanian. Rakyatnya diperlakukan secara sama, apapun derajat, agama, haluan politik, ras, sukubangsa dan kasta mereka. Kerajaan-kerajaan di sekeliling wilayahnya yang sebenarnya mudah ditaklukkan ia buat sebagai sekutu yang terhormat.
Asoka juga dipercayai membangun rumah-sakit untuk hewan dan merenovasi jalan-jalan utama yang menghubungkan daerah-daerah di India. Setelah perubahan dirinya, Asoka dikenal sebagai Dhammashoka (bahasa Pali). Bentuknya dalam bahasa Sansekerta adalah Dharmâsoka. Asoka kemudian mendefiniskan prinsip-prinsip dasar dharma (dhamma) sebagai tindakan anti-kekerasan, toleransi terhadap semua sekte atau aliran agama, dan segala pendapat, mematuhii orang tua, menghormati para Brahmana, guru-guru agama dan pandita, baik hati terhadap kawan, perlakuan manusiawi terahadap para pembantu, dan murah hati terhadap semua orang. Prinsip-prinsip ini menyinggung haluan umum etika berkelakuan terhadap sesama di mana tidak ada kelompok agama atau sosial yang bisa menentang.
Beberapa pengkritik perpendapat bahwa Asoka takut akan adanya lebih banyak peperangan. Namun sebenarnya negara-negara tetangganya, termasuk kekaisaran Seleukos dan kerajaan-kerajaan Baktria-Yunani yang didirikan oleh Diodotus I, tidak ada yang bisa menyamai kekuatan Asoka. Asoka hidup pada masa yang sama dengan Antiochus I Soter dan penerusnya Antiochus II Theos dari dinasti Seleukus seperti begitu pula Diodotus I dan putranya Diodotus II dari kerajaan Baktria-Yunani. Jika prasasti-prasasti dan piagam-piagamnya dipelajari dengan teliti, maka bisa disimpulkan bahwa ia mengenal Dunia Helenistik tetapi tidak pernah kagum. Piagam-piagamnya yang membicarakan hubungan persahabatan, memberikan Antiochus dari kekaisaran Seleukus dan Ptolemeus III dari Mesir. Tetapi kemasyhuran kekaisaran Maurya sudah tersebar semenjak kakek Asoka, Candragupta Maurya mengalahkan Seleucus Nicator, pendiri dinasti Seleukus.
Sumber banyak pengetahuan akan Asoka adalah prasasti-prasasti yang banyak ditinggalkannya dan dipahatkannya di pilar-pilar dan batu-batu di seluruh wilayah kekaisarannya. Maharaja Asoka juga dikenal sebagai Piyadasi yang berarti "berparas baik" atau "dikaruniai Dewa-Dewa dengan berkah baik". Semua prasastinya memiliki sentuhan kekaisaran dan menunjukkan rasa kasih sesama yang mendalam; ia menyapa rakyatnya dengan kata "anak-anakku". Prasasti-prasasti ini mempromosikan moral sesuai agama Buddha dan memberi semangat pada tindakan non-kekerasan serta keteguhan dalam melaksanan Dharma (kewajiban atau tindakan yang bajik). Prasasti-prasasti ini juga membicarakan ketenarannya dan negara-negara taklukkan serta juga negara-negara tetangga yang berusaha menghancurkannya.
Informasi tentang peperangan Kalinga juga bisa didapatkan dan juga tentang sekutu-sekutu Asoka. Lalu informasi mengenai pemerintahan sipil juga ada. Pilar-pilar Asoka di Sarnath adalah peninggalan Asoka yang paling dikenal. Mereka dibuat dari batu granit dan merekam kunjungan Asoka kepada maharaja Sarnath pada abad ke-3 SM. Pilar ini memiliki pucuk berbentuk empat kepala singa yang berdiri membelakangi satu sama lain. Lambang India modern adalah keempat singa ini. Singa selain melambangkan kekuasaan Asoka, juga melambangkan sifat kerajaan sang Buddha (singa dianggap raja hutan yang merajai semua margasatwa dan Buddha adalah seorang pangeran mahkota). Dalam menerjamahkan teks-teks yang berada pada prasasti di pilar-pilar ini, para sejarawan bisa mempelajari banyak tentang Kekaisaran Maurya. Namun sulit apakah yang tertulis di situ benar semua atau tidak. Yang jelas ialah teks-teks ini menunjukkan kepada kita bagaimana maharaja Asoka ingin dikenang.
Kata-kata Asoka sendiri seperti diketahui dari piagam-piagamnya adalah: "Semua orang adalah anakku. Aku seperti ayah mereka. Seperti seorang ayah menginginkan kebaikan dan kebahagian untuk anaknya, aku ingin supaya semua orang selalu bahagia."
Maharaja Asoka memerintah selama 41 tahun, dan setelah mangkatnya, dinasti Maurya masih bertahan selama lebih dari 50 tahun. Asoka memiliki banyak selir dan anak, namun nama-nama mereka tidaklah diketahui. Mahinda dan Sanghamitta adalah anak kembar yang dilahirkan istri pertamanya, Dewi di kota Ujjayini. Ia mempercayai mereka untuk menyebarkan agama Buddha di dunia yang dikenal dan tak dikenal. Mahinda dan Sanghamitta pergi ke Sri Lanka dan memasukkan Raja, Ratu dan rakyatnya agama Buddha. Mereka lalu berkeliling dunia sampai ke Mesir dunia Helenistik (Yunani). Sehingga mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban pemerintahan. Beberapa arsip langka membicarakan penerus Asoka bernama Kunal, yang merupakan putra Asoka dari istri terakhirnya.
Masa kepemimpinan Maharaja Asoka bisa saja mudah menghilang dalam sejarah, dengan berselangnya abad, jika ia tidak meninggalkan arsip sejarah apa-apa. Kesaksian maharaja ini ditemukan dalam bentuk pilar-pilar dan batu-batu karang besar yang dipahati secara megah menjadi prasasti. Isinya adalah ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan yang ingin ia sebar luaskan. Selain itu Asoka juga mewariskan kita bahasa tertulis pertama di India setelah kota kuna Harrapa. Namun berbeda dengan di Harrapa, teks-teks Asoka bisa kita pahami. Bahasa yang dipakai Asoka dalam menuliskan teks-teks prasastinya adalah sebuah bentuk bahasa rakyat atau bahasa Prakerta/Prakrit dan bukan bahasa Sansekerta.
Pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya Asoka, penguasa Maurya terakhir, Brihadatha, dibunuh secara keji oleh panglima perang Maurya, Pusyamitra Sunga, saat ia sedang menginspeksi pasukannya. Pusyamitra Sunga lalu mendirikan dinasti Sunga (185 SM-78 SM) dan hanya memerintah sebagian wilayah Kekaisaran Maurya yang telah runtuh. Di masanya, ritualisme Hindu kemabali dihidupkan seperti ritual Asmaveda karena para raja dinasti Sunga adalah pemeluk agama Hindu.
Baru hampir 2.000 kemudian di bawah kemimpinan Akbar yang Agung dan cicitnya (buyutnya) Aurangzeb, sebuah bagian besar anak benua India yang pernah diperintah Asoka, dipersatukan lagi di bawah satu kepemimpinan. Tetapi akhirnya, orang Inggris di bawah Kekaisaran Britania Indialah yang menyatukan anak benua yang terpecah-belah ini menjadi sebuah satuan politik dan merintis jalan menuju munculnya kembali negara Bharata modern yang sembari memakai lambang Asoka, diilhami oleh ajarannya yang penuh dengan rasa kepemimpinan kuat dan rasa kasih sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ing arso asung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani