Minggu, 06 Desember 2009

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Keruntuhan Fasis dunia dengan berhasil dikalahkannya Jerman dan Italia pada berbagai front perang di Eropa serta Jepang di Asia, memulai babak baru dalam sejarah dunia dan Indonesia pada khususnya. Fasisme sendiri merupakan sebuah paham kebangsaan yang berharap ingin membangun imperium dunia dalam satu ras dan itu direalisasikan dalam peperangan dan penguasaan terhadap negara lain yang akhirnya dapat dihancurkan oleh tentara Sekutu yang merupakan gabungan negara-negara Barat yang merasa khawatir dengan kehadiran Fasisme akan menggerogoti aksistensinya dalam percaturan politik dunia terutama pada negeri jajahan.
Di lain pihak, para pejuang bangsa yang dengan semangat membara mulai merecoki kekuasaan Jepang yang telah melemah. Memanfaatkan keadaan vacum of power pasca dibom atomnya dua kota Jepang, para pejuang mulai menyusun rencana kemerdekaan bangsa dan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Walaupun sempat terjadi selisih paham mengenai waktu pelaksanaan proklamasi antara Golongan Muda yang progresif dengan Golongan Tua yang cendrung bersikap hati-hati dalam menentukan sikap.
Segera berita tentang proklamasi kemerdekaan disebarluaskan melalui radio-radio yang lolos dalam pengawasan Jepang. Namun Jepang sendiri tidak mau mengakui kemerdekaan itui karena keberadaan mereka di Indonesia adalah untuk menjaga status quo yang diamanatkan oleh sekutu.
Walaupun masih baru, Republik ini langsung membentuk segala hal sebagai syarat berdirinya sebuah negara seperti mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara, memilih presiden dan wakil presiden dan badan-badan lainnya. Dalam bidang militer dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Namun, BKR yang dibentuk secara lokal berakibat pada perlawanan yang kurang tersentral terhadap serangan Belanda. BKR diganti menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan selanjutnya berubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) dan terakhir berubah lagi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) serta menempatkan semuanya dalam satu biro agar mudah terkoordinasi. Badan-badan perjuangan inilah nanti yang akan lebih banyak berjibaku baik dengan Jepang maupun Belanda.
Bersamaan dengan pelucutan kekuatan Jepang, muncul masalah lain yakni dengan kedatangan Pasukan Sekutu yang tergabung dalam SEAC (Southeast Asia Command) dan ikut di dalamnya pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang terang-terangan ingin menancapkan kembali hegemoninya Republik ini.
Walaupun secara de facto, pasukan Sekutu telah mengakui kedulatan Republik ini, Belanda tetap pada pendiriannya. Berbagai siasat dan tipu muslihat mereka terapkan untuk mewujudkan itu semua. Perebutan kekuasaan terhadap Republik bukan saja dilakukan lewat jalan peperangan, namun juga terjadi lewat jalan diplomasi yang akhirnya berhasil menceraiberaikan bangsa ini dengan jalan membentuk negara-negara boneka untuk mengimbangi kekuasaan Republik ini. Mereka juga berhasil memaksakan berbagai hasil perundingan yang lebih menguntungkan dirinya.
Rongrongan kekuasaan bukan hanya dilakukan oleh Belanda saja, namun juga oleh pihak-pihak dalam terutama kelompok-kelompok militer dan mempunyai pengalaman perang yang merasa tidak puas terhadap berbagai kebijaksanaan pusat. Ketika keadaan kacau, saat itulah Belanda mulai menusuk dari belakang dengan melancarkan agresi dan manuver-manuver politiknya karena dianggap lebih efektif untuk menggoyahkan sebuah pemerintahan.
Begitu lihainya taktik Belanda dalam melakukan tarik ulur perundingan, sehingga mereka mampu memaksakan intervensi politik terhadap perpolitikan tanah air. Hal itu terlihat pada perubahan struktur pemerintahan dari sistem presidensiil menjadi sistem parlementer model Barat yang oleh Belanda mesti dilakukan karena akan lebih mudah mengadakan perundingan-perundingan.
Dengan sistem parlementer seperti itu, sebuah kabinet pemerintahan akan dengan mudah mengalami kejatuhan jika muncul tentangan dari suara mayoritas dalam kabinet dan itu memang terjadi ketika sistem presidensiil diganti dengan sistem parlementer sehingga apa yang menjadi program kabinet ke depan, belum dapat direalisasikan. Satu masalah belum selesai akan muncul masalah lain dan yang menjadi korbannya adalah rakyat.
Kehadiran Sekutu terutama Amerika Serikat dan Inggris sebagai penengah nampaknya berat sebelah dan tidak memberikan dampak yang signifikan untuk mencapai perdamaian. Walaupun ada berbagai kecaman yang terlontar namun tidak diimbangi dengan aksi serta adanya berbagai politik kepentingan Sekutu terhadap Republik ini.






1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana maksud dan tujuan golongan pemuda melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta serta makna yang terkadung dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945?
1.2.2 Bagaimana kondisi kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dan berbagai peristiwa sekitar proklamasi?
1.2.3 Bagaimana maksud dan tujuan dari Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II serta upaya-upaya cerdas yang dilakukan bangsa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Dapat mendeskripsikan maksud dan tujuan golongan pemuda melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta serta makna yang terkadung dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
1.3.2 Dapat mendeskripsikan kondisi kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dan berbagai peristiwa sekitar proklamasi.
1.3.3 Dapat mendeskripsikan maksud dan tujuan dari Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II serta usaha-usaha cerdas yang dilakukan bangsa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peristiwa Rengasdengklok dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
PPKI secara simbolis dilantik oleh Jenderal Tarauchi dengan mendatangkan Soekarno dan Hatta ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945 disertai Rajiman Wedyodininggrat. Ketika Soekarno-Hatta pulang ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945 dengan singgah di Singapura, mereka berjumpa dengan anggota-anggota PPKI dari Sumatra yaitu Moh. Amir, Teuku Hassan dan Abdul Abbas.
Setelah Soekarno-Hatta tiba di Jakarta, Syahrir menemui mereka untuk saling tukar informasi. Syahrir yang memimpin gerakan perlawanan tanpa kompromi dengan Jepang, telah sejak tanggal 10 Agustus mendengar dari radio gelap bahwa Jepang telah meminta damai dengan Sekutu. Namun pihak Sekutu hanya mau menerima penyerahan tanpa syarat. Karena perang masih berlangsung, Syahrir mendesak agar kedua pemimpin itu segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia keesokan harinya pada tanggal 15 Agustus 1945 dengan maksud kalau proklamasi kemerdekaan itu terjadi sebelum Jepang menyerah, maka kedudukan Indonesia di dalam perundingan-perundingan sesudah perang selesai akan menjadi lebih kuat karena jelas kemerdekaan itu bukan hadiah Jepang, di samping itu, proklamasi itu berarti pula sumbangan Indonesia kepada Sekutu melawan Jepang. Namun Soekarno dan Hatta yang dituduh oleh golongan Syahrir dan lebih-lebih Golongan Pemuda sebagai kolaborator tidak berani mengambil resiko, karena menganggap kekuatan Jepang di Indonesia masih dalam keadaan utuh.
Sementara itu tanggal 15 Agustus Syahrir mendengar kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Karena itu Ia mendesak supaya proklamasi segera dilakukan. Namun Soekarno dan Hatta belum bersedia karena kabar itu baru diterima lewat radio gelap. Soekarno dan Hatta ingin mendengar kabar resmi dari pemerintah. Di samping itu Syahrir juga mendesak agar proklamasi kemerdekaan tak dilakukan lewat PPKI buatan Jepang agar tidak mempersulit hubungan dengan Sekutu nanti.
Proklamasi ternyata tidak dapat dipaksakan oleh kelompok radikal. Taktik mereka dengan gertak dan intimidasi membuktikan bahwa mereka tidak tahu hukum revolusi. Revolusi hanya akan berhasi jika dikemudikan oleh pemimpin yang tahu apa maunya, pandai membuat perhitungan yang tepat dan mampu mengukur kekuatan lawan. Memang kelompok Sukarni berhasil mengkoordinasikan kelompok sjahrir dan kelompok pelajar mahasiswa. Tetapi akhirnya Sjahrir bersikap apatis terhadap proklamasi, di samping arah dan gerak Sukarni yang dianggap menuju chaos dan anarki. Kelompok pelajar mahasiswa diberi gambaran yang salah tentang keadaan politik dan perjuangan rakyat.
Pada malam hari tanggal 15 Agustus terjadi dua hal penting, yaitu persiapan rapat PPKI dan rapat Gerakan Pemuda. PPKI akan mengadakan rapat pada tanggal 16 Agustus pagi. Undangan kilat telah disampaikan kepada para anggota yang pada waktu itu telah berkumpul di Jakarta. Rapat akan diadakan di hotel Des Indes (Duta Indonesia).
Bersamaan dengan itu, hasil rapat Gerakan Pemuda di bawah pimpinan Sukarni dan Chaerul Saleh memutuskan untuk menyingkirkan Soekarno-Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok. Para pemuda mendatangi kediaman Soekarno-Hatta pada dini hari tanggal 16 Agustus dengan menyatakan bahwa pemuda akan segera melaksanakan perebutan kekuasaan. Agar mereka tidak terancam jiwanya, perlu diamankan. Namun menurut Bung Hatta, golongan pemuda itu takut kalau Soekarno-Hatta dapat diperalat atau paling tidak dipengaruhi oleh Jepang. Mungkin juga adanya Soekarno-Hatta di Jakarta bisa menghalangi rencana mereka.
Rengasdengklok dipilih menjadi tempat persembunyian karena di sana terdapat kesatuan PETA bersenjata yang cukup besar dan penguasa setempat beserta rakyatnya umumnya anti Jepang dan pro perebutan kekuasaan. Sampai sore hari perebutan kekuasaan seperti yang dikatakan golongan pemuda tidak terjadi. Sementara itu Laksamana Maeda sedang kebingungan mencari Soekarno dan Hatta untuk menyampaikan kabar resmi penyerahan Jepang seperti yang telah dijanjikan. Akhirnya dicapai kesepakatan antara Mr. Ahmad Soebardjo yang mewakili golongan tua dengan Wikana yang mewakili golongan muda bahwa proklamasi harus dilaksanakan di Jakarta. Subarjo dan Sudiro yang dikawal Jusuf Kunto menjemput Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok
Soekarno dan Hatta tiba di Jakarta pukul 23.30. namun sebelumnya mereka menemui mayor jendral Nishimura untuk menjajagi sikapnya terhadap pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengharapkan pihak Jepang tidak menghalang-halangi proklamasi. Kemudian Hatta mempersiapkan rapat dan menghubungi para anggota yang tentunya telah dibuat bingung karena kepergian mereka. Rapat akan diselenggarakan di Hotel Des Indes tempat para anggota menginap. Tetapi peraturan melarang adanya rapat-rapat sesudah jam 10 malam, karena itu rapat atas tawaran Maeda diselenggarakan di rumahnya di Miyokodori (Nassau Boulevard), kini jalan Imam Bonjol no. 1.
Rapat berlangsung sampai jam 6 pagi tanggal 17 Agustus. Hasilnya adalah rumusan teks proklamasi yang akan diumumkan pada hari itu jam 10 pagi.
Semula golongan pemuda menyodorkan rumusan teks proklamasi yang keras nadanya, karena itu rapat tidak menyetujui. Konsep teks proklamasi ditulis Soekarno sedangkan Hatta dan menyumbangkan pikiran secara lisan:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘45
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta
tanda tangan Soekarno
tanda tangan Hatta
Teks tersebut adalah teks yang resmi dan ditandatangani oleh dwitunggal Soekarno-Hatta. Teks yang ditulis Bung Karno dan yang di sudut bawah kanan terdapat kata-kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” adalah buram dan tidak ditandatangani.
Bunyi teks tersebut tidak bernada keras, tetapi sungguh memadai. Pihak lain tidak usah dibuat gusar mendengar bunyi teks tersebut.
Setelah rumusan teks berhasil disusun, timbul persoalan siapa yang harus menandatangani teks itu. Hatta mengusulkan agar teks proklamasi itu, seperti Declaration of Independence Amerika, ditandatangani oleh seluruh yang hadir sebagai wakil bangsa Indonesia. Namun atas usul Sukarni yang disetujui oleh kebanyakan yang hadir, teks proklamasi hanya ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta saja atas nama bangsa Indonesia. Akhirnya Soekarno menyuruh Sayuti Melik untuk mengetik naskah itu sesuai dengan tulisan tangan Soekarno disertai perubahan-perubahan yang telah disetujui rapat.
Agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya, naskah itu harus disebarluaskan dan Sukarni mengusulkan agar naskah itu dibaca di Lapangan Ikada. Tetapi Soekarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dan militer Jepang. Ia sendiri mengusulkan agar proklamasi itu dilakukan di rumahnya di Jalan Pengangsaan Timur no.56
Karena Jepang melarang penyiaran proklamasi itu, maka penyiarannya dilakukan secara gelap baik lewat radio, dengan pamflet-pamflet, edaran-edaran dan dari mulut ke mulut.
Penculikan Soekarno dan Hatta merupakan realitas dan kesalahan perhitungan politik yang semata-mata berdasarkan sentimen. Kiranya pada detik-detik yang menentukan terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat. Di satu pihak lebih dikuasai emosi pemuda yang revolusioner-romantik sedangkan di pihak lain, kelompok tua tetap dikuasai oleh rasio untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Pasca proklamasi kemerdekaan, kelompok sutan Sjahrir yang bersikap apatis menganggap proklamasiyang dibacakan Soekarno sangat lemah karena kurang mendapat dukungan rakyat, akhirnya melakukan perjalanan ke seluruh Pulau Jawa. Menyambangi tiap-tiap daerah dan ingin memastikan respon masyarakat terhadap proklamasi tersebut. Nyatanya masyarakat menyambut proklamsi secara antusias dan menganggap Soekarno sebagai pemimpin mereka. Begitu populernya Soekarno di mata rakyat sampai mengalahkan kepopuleran dirinya. Dia pun yakin proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 mendapat dukungan yang luas dari masyarakat. Akhirnya Sjahrir mau menerima ajakan Soekarno-Hatta untuk duduk dalam pemerintahan.

2.2 Masa Revolusi Fisik
2.2.1 Sekilas Tentang Masa Revolusi Fisik
Masa Revolusi Fisik adalah masa di mana pemikiran-pemikiran yang berkembang pada Masa Pergerakan Nasional menguji keampuhannnya dalam rangka patriotisme menghadapi Belanda, yaitu usaha mendapatkan pengakuan kedaulatan.
Faksi-faksi berkembang membentuk kelompok pro dan kontra atas perundingan Indonesia dengan Belanda. Dua faksi terbesar pada Masa Revolusi Fisik, yaitu pertama faksi pemerintah yang didukung oleh dwitunggal Soekarno-Hata yang lebih dikenal dengan Sayap Kiri lalu Persatuan Perjuangan (PP) sebagai oposisi pemerintah. Sayap kiri terdiri dari kaum Sosialis Kanan Sjahrir yang dikenal dengan sebutan SosKa lalu kelompok Komunis Gadungan Amir Syarifudin yang dikenal dengan sebutan KomGa (SosKa+KomGa=Partai Sosialis), ditambah dengan Pesindo, PKI, dll. Sedangkan PP terdiri dari komunis nasional Tan Malaka, Hizbullah, dll yang terkenal dengan sebutan kelompok kiri dari kiri.
Di luar kelompok Ini ada dua partai yang mempunyai kekuatan besar, yakni Masyumi sebuah partai federasi dengan ideologi nasionalisme Islam dan PNI dengan ideologi nasionalis Sekuler. Disamping itu ketiga kekuatan pada Masa Revolusi Fisik ada dua kekuatan Dwitunggal Soekarno-Hatta dan tentara. Secara garis besar pada Masa Revolusi Fisik pemikiran yang berkembang adalah tentang bagaimana cara mendapatkan kedaulatan Indonesia baik di meja perundingan maupun di medan perang termasuk membentuk tentara regular yang homogen.
Tercapainya pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang selanjutnya dikuti dengan perubahan konstitusi Indonesia dari konstitusi RIS menuju UUDS 1950 adalah tonggak diterapkannya Demokrasi Liberal di Indonesia. Begitupun dengan bentuk Negara yang awalnya federal menurut Konstitusi RIS berubah menjadi Republik Kesatuan melalui sebuah mosi integral M. Natsir.

2.2.2 Periode Perang Kemerdekaan
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agusutus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali di Gedung Kesenian Jakarta dan menghasilkan beberapa keputusan penting menyangkut kehidupan ketatanegaraan serta landasan politik bagi Indonesia merdeka. Keputusan itu antara lain :
1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar negara
2. Memilih presiden dan wakil presiden, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
3. Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah komite nasional
Sidang hari kedua menghasilkan keputusan dibentuknya 12 departemen dan sekaligus menunjuk para pemimpin departemen serta menetapkan pembagian wilayah Indonesia yang dibagi atas delapan provinsi serta menunjuk gubernurnya. Pada tanggal 23 Agustus, Presiden Soekarno dalam pidatonya menyatakan berdirinya tiga badan baru yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan Keamanan Rakyat ini akan bertugas sebagai penjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) daerah. Pidato tersebut mendapat dua sambutan berbeda di kalangan pemuda-pemuda seluruh Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Pada umumnya timbul kekecewaan bahwa pemerintah tidak segera membentuk sebuah tentara nasional, tetapi sebagian besar pemuda mantan anggota PETA, KNIL dan Heiho, artinya pemuda-pemuda yang sudah mempunyai pengalaman militer memutuskan membentuk BKR di daerah tempat tinggalnya dan memanfaatkan BKR itu sebaik-baiknya sebagai wadah perjuangan. Sebagian lagi yang pada jaman Jepang telah membentuk kelompok-kelompok politik, tidak puas dengan BKR setelah usul mereka mengenai pembentukan tentara nasional ditolak pemerintah. Mereka menempuh jalan lain dengan membentuk badan-badan perjuangan yang kemudian menyatukan diri dalam sebuah Komite van Aksi yang bermarkas di Jalan Menteng 31 di bawah pimpinan Adam Malik, Sukarni, Nitimihardjo dan badan-badan yang bernaung di bawah Komite van Aksi adalah Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI).
BKR dan badan-badan perjuangan yang dibentuk pemuda inilah yang menjadi pelopor yang merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Mereka merebut senjata dan sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dengan pihak Jepang. Di samping itu adanya perintah dari pihak sekutu kepada Jepang agar tetap menjaga status quo sejak 15 Agustus 1945 sampai datangnya tentara Sekutu.
2.2.3 Kembalinya Belanda bersama Sekutu
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa Negara-Negara Sekutu sepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. Pasukan Sekutu yang bertugas di Indonesia ini merupakan komando khusus dari SEAC yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang mempunyai tiga divisi dengan Panglima Lord Mountbatten sebagai komando tertinggi Sekutu di Asia Tenggara dan untuk di Indonesia dipegang oleh Letnan Jendral Sir Philip Christison. Tugas AFNEI di Indonesia adalah melaksanakan perintah gabungan Kepala Staf Sekutu yang diberikan kepada SEAC di antaranya :
1. Menerima penyerahan Indonesia dari Jepang
2. Membebaskan para tawanan perang sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI).
3. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan
4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan kepada pemerintah sipil
5. Menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang di depan pengadilan Sekutu
Berdasarkan Civil Affairs Agreement pada 23 Agustus 1945, Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh dengan didampingi Dr. Charles van der Plas. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J. van Mook yang dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 dan menyatakan tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang.
Pada awalnya, kedatangan Pasukan Sekutu disambut dengan netral oleh pihak Indonesia, namun suasana berubah drastis ketika diketahui bahwa kedatangan Sekutu juga menggandeng NICA yang dengan terang-terangan hendak menegakkan kembali kekuasaannya.
NICA kembali mempersenjatai orang-orang KNIL yang baru dilepaskan oleh Jepang serta memicu kerusuhan dengan mengadakan provokasi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Menimbang bahwa tugas Sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan Indonesia dalam upayanya untuk menjaga ketertiban dan perdamaian Asia, akhirnya Christison mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia dan mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto pada tanggal 1 Oktober 1945 serta tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut ketatanegaraan Indonesia. Namun pada kenyataannya sering terjadi insiden-insiden antara pasukan Sekutu dengan pihak Indonesia. Terdapat berbagai pertempuran yang bersifat heroik dan menggugah rasa kebangsaan seperti Peristiwa 10 November yang sekarang diperingati sebagai hari pahlwan. Peristiwa ini terjadi di daerah Surabaya yang merupakan Peristiwa besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaannya yang dilakukan oleh Arek-arek Suroboyo yang terdiri dari berbagai suku, lapisan dan kedudukan secara gagah berani dan dengan semangat kepahlawanannya menentang setiap keinginan dari kaum penjajah yang akan kembali merampas kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan semboyan "Merdeka atau Mati", dengan gagah berani, Arek-arek Suroboyo dengan senjata apa adanya menghadapi kekuatan penjajah yang menggunakan senjata modern dan yang lebih hebatnya lagi mereka berhasil menewaskan Brigjen Mallaby yang kemudian digantikan oleh Mayjen Mansergh.
Kemudian peristiwa Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa yang disebabkan NICA mempersenjatai kembali tawanan KNIL sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Perang dipimpin oleh Kolonel Soedirman pada 12 Desember 1945 menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus. Pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa pada 15 Desember 1945. Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingati sebagai Hari Jadi TNI Angkatan Darat.
Pada bulan September-Oktober 1945 terjadi bentrokan fisik antara masyarakat Bandung bersama TKR dengan tentara Jepang dalam usaha pemindahan markas Jepang, antara lain di pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong, yang puncaknya terjadi di Heetjanweg, Tegalega. Pada tanggal 9 Oktober 1945, bentrokan fisik dengan pihak Jepang dapat diselesaikan dengan damai. Pemuda, TKR, dan rakyat Bandung berhasil mendapatkan senjata mereka. Bersamaan dengan itu, datanglah tentara Sekutu memasuki kota Bandung dan sebanyak 1 brigade pasukan dipimpin Mc Donald dari Divisi India ke 23 dengan dikawal Mayor Kemal Idris dari Jakarta.
Kedatangannya segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan rakyat Bandung. Pada tanggal 24 November 1945, TKR bersama rakyat Bandung yang dipimpim oleh Arudji Kartasasmita sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik sehingga seluruh Kota Bandung gelap gulita dengan maksud mengadakan serangan malam terhadap kedudukan Sekutu. Karena merasa terdesak, pada tanggal 27 November 1945 Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Sutarjo yang ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat tanggal 29 November 1945 pukul 12.00, unsur bersenjata RI meninggalkan Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat Bandung tidak mematuhinya. Maka, sejak saat itu, Sekutu telah menganggap bahwa Bandung telah terbagi menjadi 2 bagian dengan jalan kereta api sebagai garis batasnya. Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan Bandung Selatan milik Republik. Mulailah tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk di bagian Utara jalan kereta api.
Merasa tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR dan rakyat Bandung, Pada tanggal 24 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum lagi kepada bangsa Indonesia yang masih mempunyai atau menyimpan senjata. Ultimatum itu berakhir sampai tengah malam Senin 24-25 Maret 1946. TKR dan pasukan lainnya meminta waktu 10 hari karena penarikan TKR dalam waktu singkat tidak mungkin, namun tuntutan tidak disetujui dan pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang mulai meninggalkan kota Bandung karena Kota Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran.
Inggris mulai menyerang pada tanggal 25 Maret pagi, sehingga terjadi pertempuran sengit. Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi.
. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TKR bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada pukul 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan kosong dari tentara. Tetapi api masih membumbung masih membakar Bandung. Kini Bandung berubah menjadi lautan api.

2.2.4 Pembentukan TNI
Pemerintah RI menyadari bahwa pembentukan BKR secara lokal menyebabkan perlawanan yang kurang tersentral. Perlawanan menjadi terpecah-pecah. Pemerintah kemudian memanggil pensiunan KNIL, Oerip Soemahardjo yang diserahi tugas untuk menyusun tentara nasional dan pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menggantikan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi dan Moh. Suliyoadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Segera pula dibentuk Markas Besar Umum TKR yang berkedudukan di Kota Yogyakarta dan secara umum terdapat 10 divisi di Pulau Jawa dan 6 divisi di Pulau Sumatra ditambah dengan puluhan badan perjuangan dari golongan pemuda.
Sejak pemerintah menyatakan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat, orang yang ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi, Supriyadi tidak pernah muncul dan untuk mengisi kekosongan pimpinan setelah melakukan musyawarah TKR yang dihadiri oleh Panglima Divisi dan Komandan Resimen dari seluruh Jawa dan Sumatra, terpilihlah Kolonel Soedirman, Panglima Divisi V Banyumas sebagai penggantinya.
Pasca pengangkatan Kolonel Soedirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Letnan Jendral, nama TKR diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Pada tanggal 23 Februari 1946 pemerintah mengeluarkan Ketetapan Presiden tentang Panitia Besar Penyelenggara Organisasi Tentara yang bertugas menyusun peraturan mengenai bentuk kementerian pertahanan dan bentuk kekuatan serta organisasi tentara. Tugas diselesaikan pada 17 Mei 1946. Di bawah menteri pertahanan terdapat Markas Tertinggi dan Direktorat Jendral Bagian Militer. Sebagai panglima besar ditunjuk Jendral Soedirman dan sebagai Kepala Markas Besar Umum ditunjuk Letnan Jendral Oerip Soemardjo. Mengenai badan perjuangan, dikeluarkan Peraturan no.19 yang menyatakan semua badan-badan perjuangan di bawah satu biro dalam kementerian pertahanan yaitu biro perjuangan dan peraturan itu ditegaskan lagi lewat Maklumat Menteri Pertahanan 4 Oktober 1946 tentang pembentukan Dewan Kelaskaran Pusat dan Dewan Kelaskaran Daerah
Pada tanggal 5 Mei 1946 dikeluarkan Ketetapan Presiden yang memutuskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan Laskar Perjuangan menjadi satu organisasi tentara. Pelaksananya dipimpin presiden dengan dibantu tiga orang wakil ketua yakni wakil presiden, menteri pertahanan dan panglima besar dengan anggota terdiri dari Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara dan para pimpinan badan-badan perjuangan. Hasilnya menyatakan berdirinya Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947 yang mula-mula mempunyai pimpinan kolektif sebagai pimpinan tertinggi. Nama TNI sendiri memuaskan semua pihak yang tetap menganggap dirinya bukan semata-mata alat negara melainkan sebagai pejuang nasional dan alat bangsa.
Adapun alat keamanan negara yang lain adalah Kepolisian Negara yang semula di bawah kementerian dalam negeri namun sejak dikeluarkannya Penetapan Pemerintah no. 11/SD tahun 1946 pada tanggal 26 Juni 1946 di mana Jawatan Kepolisian Negara berdiri sebagai jawatan tersendri di bawah perdana menteri.
Belum sempatnya diadakan perubahan terhadap susunan organisasi kemiliteran tersebut, Agresi Militer Belanda I dimulai pada tanggal 21 Juli 1947. Dalam waktu singkat Belanda berhasi menerobos pertahanan TNI. Kekuatan TNI dengan organisasi dan peralatan yang sederhana tidak mampu menghambat pukulan musuh dengan peralatan serba modern walaupun TNI telah bersiap-siap melakukan taktik bumi hangus yang pelaksanaannya menunggu komando pangliman besar.
2.2.5 Pergantian Sistem Pemerintahan RI
Di bidang politik, pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik yang menyatakan bahwa pihak Indonesia menginginkan pengakuan kedaulatan terhadap Pemerintah Republik Indonesia dari pihak Sekutu maupun Belanda. Pemerintah RI bersedia membayar semua hutang-hutang Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II dan berjanji akan mengembalikan semua milik asing yang dikuasai pemerintah serta akan membentuk partai-partai politik sebagai wadah perjuangan. Sebagai realisasi maklumat tersebut, kabinet presidensiil diganti dengan kabinet ministeriil dan sebagai perdana menteri pertama ditunjuk Sutan Sjahrir yang segera melaksanakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris.
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir, seorang sosialis yang dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer. Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, intelek dan telah berperang selama pemerintahan Jepang
Karena situasi keamanan Ibu Kota Jakarta yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus memindahkan ibu kota RI meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Di lain pihak, Pemerintah Belanda membuat pernyataan terperinci tentang politiknya dan menawarkan perundingan dengan wakil-wakil RI yang diberi kuasa. Tujuannya adalah mendirikan Persemakmuran Indonesia yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri dan akan menjadi rekan dalam Kerajaan Belanda, menciptakan Warga Negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana serta mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia merupakan mayoritas. Kementerian disesuaikan dengan parlemen tetapi dikepalai oleh wakil kerajaan.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik Indonesia sebagai negara berdaulat. Untuk itu, Pemerintah Belanda menawarkan suatu kerjasama yaitu mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari. Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia atas Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi bubar, dan teman-temannya kembali pulang.
Akibat kekuatan oposisi yang kuat dalam Kabinet Sjahrir I untuk menentang semua kebijakan Sjahrir terkait dengan perundingannya dengan pihak Belanda dan Inggris yang membicarakan masalah pemberian kedaulatan, Kabinet Sjahrir I jatuh dan menyerahkan mandat kembali kepada presiden. Namun presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai formatur kabinet dan Sjahrir menjabat kembali sebagai perdana menteri (Kabinet Sjahrir II).
Dengan jatuhnya Kabinet Sjahrir I, pihak oposisi kabinet yang menamakan diri Golongan Persatuan Perjuangan sebenarnya menginginkan Tan Malaka sebagai formatur kabinet. Dengan keadaan yang seperti itu, kelompok-kelompok oposisi tetap ingin menjatuhkan Kabinet Sjahrir II dan puncaknya adalah dengan ditangkapnya kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai provokator penentang pemerintah. Orang-orang tersebut merupakan kelompok Tan Malaka yang tidak puas terhadap program-program Kabinet Sjahrir II di antaranya, Tan Malaka, Sukarni, Abikusno, Sayuti Melik, Chairul Saleh dan Muh. Yamin. Menurut pemerintah, tujuan penangkapan adalah untuk mencegah timbulnya bahaya yang lebih besar karena terdapat bukti-bukti bahwa mereka berniat mengacaukan, melemahkan dan memecah persatuan. Mereka tidak melakukan oposisi yang sehat dan loyal melainkan hendak melemahkan pemerintah.
Di lain pihak Presiden Soekarno menyatakan keadaan negara dalam bahaya serangkaian dengan pergolakan Rakyat Solo yang menuntut dilenyapkannya Pemerintahan Kasunanan Daerah Istimewa Surakarta. Selain itu juga terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang dilakukan kelompok Tan Malaka yang terlanjur mencap Sjahrir sebagai pengkhianat yang menjual tanah airnya.
Sjahrir diculik pada malam selepas pidato peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW oleh Wakil Presiden Hatta pada Tanggal 27 Juni 1946 yang dalam pidatonya menyatakan dukungan kepada Sjahrir. Untuk mengantisipasi kekosongan pemerintahan, Soekarno lewat pidato radionnya di Yogyakarta mengumumkan pengambilalihan kekuasaan sementara dengan persetujuan kabinet dalam sidang yang dilaksanakan pada 28 Juni 1946.
Pada Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan namun baru pada tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet dan kembali menjadi perdana menteri pada 2 Oktober 1946.
Sementara krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah menguasai sebelah Timur Nusantara dengan mengadakan konferensi di Malino pada 15 - 25 Juli 1946 , Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 yang bertujuan untuk membentuk negara-negara di daerah-daerah yang baru diterima dari Inggris dan kelak akan dijadikan imbangan terhadap RI serta memaksanya untuk menerima bentuk federasi sebagaimana yang diusulkan Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dalam perundingan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Loard Killean. Bertempat di Bukit Linggarjati dekat Cirebon, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
• Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura dan Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
• Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari tiga negara bagian, yaitu : republik Indonesia meliputi Jawa dan Sumatra, Negara bagian Kalimantan dan Negara bagian Indonesia Timur yang terbentang mulai dari Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tenggara.
• Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
• Uni Indonesia Belanda dan Republik Indonesia Serikat akan dibentuk sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan akan menentukan badan-badan perwakilannya untuk mengatur masalah-masalah kepentingan bersama.
• Kedua belah pihak akan mengurangi kekuatan pasukannya, menjaga hukum dan ketertiban serta kedaulatan Republik atas semua tuntutan bangsa asing untuk memperoleh ganti rugi dan mengelola hak-hak serta milik-milik mereka di dalam wilayah Republik.
Dr. Hubertus. J. van Mook sebagai kepala NICA yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini. Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani, Ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukawati sebagai pemimpinnya, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946.
Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Pada tanggal 25 Maret 1947. Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut dan banyak unsur pejuang Republik Indonesia yang tidak dapat menerima hasil perjanjian tersebut. Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada praktiknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa untuk memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah dan sangat tergantung pada Belanda dan terbukti baru eksis ketika Belanda melakukan agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam beberapa bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif sehingga merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian Negeri Belanda yang hancur akibat perang. Untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa khususnya gula dan Sumatera khususnya minyak dan karet.
2.3 Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda.
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie)
5. Menyelenggarakan pengawasan bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan partai-partai politik di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, mulailah pihak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama.
Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung difokuskan untuk menduduki Jawa Barat dan pasukan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa dan Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan.
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi Perjanjian Linggarjati, Sjahrir bingung dan putus asa, maka dengan terpaksa Sjahrir mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin yang sebelumnya menjabat sebagai menteri pertahanan pada Juli 1947.
Dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri, Perdana Menteri Amir Syarifudin menggaet anggota Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi wakil menteri pertahanan. Namun itu semua ditolak Kartosoewiryo karena dia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Melihat kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia yang disebabkan oleh berbagai perjanjian. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang cenderung ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
Agresi Militer Belanda I menimbulkan reaksi hebat dari dunia. Pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan sebagai draft pembicaraan Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947. Dewan Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947 dengan diawasi oleh Komisi Konsuler yang anggota-anggotanya terdiri dari Konsul Jendral yang ada di Indonesia dan diketuai oleh Konsul Jendral Amerika, Dr. Walter Foote
Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa sejak 30 Juli sampai 4 Agustus, pasukan Belanda mengadakan gerakan militer atas wilayah Indonesia dan pihak Indonesia menolak garis demarkasi yang diajukan pihak Belanda berdasarkan kemajuan pasukannya.
PBB akhirnya menyetujuai usul Amerika Serikat bahwa untuk mengawasi penghentian permusuhan, mesti dibentuk sebuah Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices for Indonesia). Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih satu negara yang dipercaya untuk mengawasi gencatan senjata dan ikut sebagai komisi. Indonseia memilih Australia yang diwakili Richard Kirby dan Belanda memilih Belgia yang diwakili Paul van Zeeland. Belgia dan Australia memilih Amerika Serikat yang diwakili Dr. Frank Graham dan komisi ini dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN).
Dalam bidang militer, KTN bisa mengambil inisiatif, namun dalam bidang politik, KTN hanya bisa memberikan usul dan tidak mempunyai hak dalam memutuskan masalah politik. Setelah mengadakan perundingan antara KTN dan dua negara bersengketa, akhirnya disepakati untuk kembali ke meja perundingan yang oleh Belanda menginginkan Jakarta sebagai tempat perundingan. Usul tersebut ditolak oleh pihak Indonesia karena di Jakarta tidak ada kebebasan menyampaikan pendapat dan tidak ada jawatan RI yang aktif akibat aksi militer Belanda.
Akhirnya disepakati bahwa perundingan diselenggarakan di atas kapal angkut milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Renville di Pelabuhan Jakarta pada 8 Desember 1948 yang dipimpin oleh Herremans, wakil Belgia dalam KTN. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Kemudian KTN mengajukan usul politik yang didasarkan perjanjian Linggarjati yaitu :
1. Kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia
2. Kerjasama Indonesia-Belanda
3. Suatu negara berdaulat atas dasar federasi
4. Uni antara Negara Indonesia Serikat dan bagian lain Kerajaan Belanda.
Sebagai balasan usul KTN, pihak Belanda mengajukan 12 prinsip politik yang disampaikan kepada pihak Indonesia di antaranya adalah pengurangan pasukan dan menghidupkan kegiatan ekonomi. Belanda menyatakan, prinsip tersebut merupakan pilihan terakhir dan dalam jangka waktu 48 jam untuk menjawabnya yang oleh KTN ditambahkan 6 prinsip lagi serta berani memberikan jaminan terhadap kekuasaan Republik Indonesia bahwa tidak akan terjadi pengurangan wilayah selama peralihan sampai diserahkannya kedaulatan Belanda kepada Negara Federal Indonesia. Pihak Indonesia menerima prinsip tersebut dan 4 dari 6 prinsip tersebut menyatakan antara enam bulan sampai satu tahun sesudah ditandatangani persetujuan politik, akan diadakan plebisit di seluruh Indonesia di bawah pengawasan KTN untuk menentukan apakah masyarakat daerah-daerah yang dikuasai Belanda berhasrat bergabung dengan RI atau tidak.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani Persetujuan Renville. Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, yakni mengenai garis batas van Mook. Garis van Mook sendiri merupakan garis yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai Republik di belakangnya. Bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yang hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Yogyakarta dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa, Banten tetap daerah Republik. Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar tidak menimbulkan rasa benci Amerika kepada Belanda.
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948.

2.4 Menumpas Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
Sesudah jatuhnya Kabinet Amir, presiden menunjuk Wakil Presiden, Moh. Hatta untuk membentuk kabinet baru. Hatta mencoba membentuk kabinet koalisi dengan mengikutsertakan semua partai dalam kabinet serta menawarkan 3 kursi kepada sayap kiri, namun sayap kiri menginginkan 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta menolaknya dan mendirikan sebuah kabinet tanpa sayap kiri dan diumumkan pada 31 Januari 1948 dengan Moh. Hatta sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan yang didukung oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di parlemen adalah Supeno yang menjabat sebagai menteri pembangunan dan pemuda. Adapun program kabinet Hatta antara lain :
1. Pelaksanaan Persetujuan Renville dan perundingan dengan dasar yang telah dicapai.
2. Mempercepat dibentuknya Negara Indonesia Serikat.
3. Melaksanakan rasionalsiasi angkatan perang dalam negeri.
4. Pembangunan.
Kabinet Hatta kembali dirongrong oleh kegiatan-kegiatan politik dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin Amir Syarifudin yang dibarengi dengan usaha-usaha untuk memancing-mancing bentrokan dengan golongan lawan politik.
Pada 5 Juli 1948, kaum buruh yang berada di bawah pengaruh FDR mengadakan pemogokan di Pabrik Karung Delangu (Klaten). Lima hari kemudian terjadi bentrokan antara sekelompok pemogok dengan Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang digawangi oleh Masyumi dan menentang pemogokan tersebut. Peristiwa tersebut menjalar menjadi pembicaraan di dalam sidang KNIP. Tiga mosi telah diajukan, namun tidak ada keputusan yang pasti apakah mengutuk atau mendukung. Dalam tindak pemogokan itu tampak jelas bahwa basis FDR di daerah pedesaan lebih merupakan soal identitas kemasyarakatan daripada masalah kelas sosial atau ideologi.
Front Demokrasi Rakyat juga mengadakan rapat-rapat besar di Bukittinggi, Solok, Batusangkar, Sawah Lunto yang dipimpin oleh Abdul Karim dan menyasar Kabinet Hatta yang mengkhendaki agar diadakan reshuffle kabinet. Parta Nasional Indonesia (PNI) menyetujui adanya reshuffle kabinet, namun Hatta harus tetap memimpin kabinet. Sekelompok politisi lain yaitu pengikut Tan Malaka, membentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang bertujuan mengimbangi FDR dan menuntut kepada pemerintah agar melepaskan para pemimpin yang sealiran dengan mereka seperti Tan Malaka, Sukarni, Abikusno dan Muh. Yamin
Bersamaan dengan kegiatan FDR, telah tiba seorang tokoh PKI yang bermukim di Moskow sejak 1926, yakni Musso pada Agustus 1948. Kedatangannya memberi angin baru bagi gerakan kaum Komunis. Partai yang berhaluan Komunis yakni Partai Sosialis dan Partai Buruh berfusi dengan PKI dan yang menjadi dasar fusi ini menurut Amir adalah perubahan keadaan politik internasional sesudah perang dunia II.
Ia mengecam kebijakan pemerintah dan strategi perjuangan dan menganggap revolusi Indonesia bersifat defensif dan karenanya mengalami kegagalan.
Kampanye-kampanye politiknya makin meningkat dengan mengadakan rapat-rapat raksasa dan salah satunya di Madiun yang menyatakan bahwa pemerintahan Hatta membawa negaranya pada penjajahan baru dengan bentuk lain.
Sekalipun mendapatkan serangan dari Kaum Komunis, Kabinet Hatta tetap menjalankan program kabinet yang salah satu di antaranya adalah rasionalisasi angkatan perang. Tujuan rasionalisasi sendiri adalah untuk perbaikan karena merupakan satu-satunya jalan untuk memerangi inflasi yang membahayakan kehidupan rakyat. Untuk itu jalan yang ditempuh dalam merasionalisasi angkatan perang di antaranya :
1. Melepas mereka dengan sukarela dan ingin kembali ke pekerjaan semula
2. Menyerahkan penampungan kepada menteri pembangunan dan pemuda
3. Mengembalikan 100.000 orang ke dalam masyarakat desa.
Masalah rasionalisasi ini mendapat tentangan yang hebat dari FDR karena akan mengenai banyak kader-kader mereka yang bersenjata. Namun Kabinet Hatta tidak goyah karena didukung oleh 2 partai kuat, Masyumi, PNI dan beberapa kelompok pemuda.
Pertentangan politik menjadi insiden bersenjata di Solo antara FDR/PKI dengan lawan-lawan politiknya dan TNI. Pada tanggal 8 September 1948, tokoh-tokoh PKI memproklamasikan berdirinya Republik Sovyet Indonesia di Madiun. Kolonel Djokosuyono diangkat sebagai Gubernur Militer Madiun. Letnan Kolonel Dahlan, Komandan Brigade 29 menjadi komandan komando pertempuran. Musso sendiri menyerang Sukarno-Hatta yang menyatakan bahwa mereka menjalankan politik kapitulasi terhadap Belanda dan Inggris dan hendak menjual tanah air ini kepada kaum kapitalis. Padahal Persetujuan Renville yang Musso gugat adalah hasil tokoh PKI sendiri, yakni Amir Syarifuddin semasa menjabat sebagai perdana menteri.
Dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun, pemerintah segera mengambil tindakan dengan membentuk Gerakan Operasi Militer I yang dilancarkan pada 30 September 1948 dan Madiun berhasil direbut. Dua bulan kemudian, operasi dinyatakan selesai.
Dengan berhasilnya penumpasan terhadap PKI, kedudukan PKI dalam KNIP menjadi beku yang berarti membuat golongan GRR mengadakan pergerakan politik yang oleh Muh. Yamin menyarankan kepada pemerintah agar dibentuk pemerintahan yang berdasarkan triple platform, yaitu kabinet yang kekuatannya terdiri dari kaum nasionalis, agama dan sosialis. Kemudian GRR mengadakan konsolidasi politik dan berfusi dengan partai-partai sehaluan di antaranya Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (ACOMA) dan Wanita Rakyat menjadi Partai Murba.

2.5 Agresi Militer Belanda II dan Menuju Pengakuan Kedaulatan.
Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, Ibu Kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Namun sebelumnya pemerintah RI telah memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.
Dengan adanya Aksi Militer Belanda II tersebut, Dewan Keamanan PBB bersidang dan Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua anggota yaitu:
1. Hentikan permusuhan
2. Bebaskan presiden dan pemimpin-pemimpin RI yang ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948
3. Memerintahkan KTN agar memberikan laporan tentang agresi tersebut
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda jika tidak mematuhi resolusi tersebut. Akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani di Hotel Des Indes, Batavia. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.
Hasil pertemuan ini adalah:
• Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
• Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
• Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
• Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Dikuasainya Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin bangsa membuat TNI bereaksi dengan melakukan serangan balasan yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Dipilihnya Kota Yogya sebagai pusat serangan melihat posisinya sebagai ibu kota Republik, banyak wartawan asing sehingga berita penguasaan Yogyakarta akan dengan cepat tersebar dan memang benar, Kota Yogyakarta dapat dikuasai selama enam jam
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen diadakan Konferensi Meja Bundar antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
• Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
• Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara
• Pengambilalihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Dengan ditandatanganinya KMB, tanggal 27 Desember 1949 pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Sementara itu, rongrongan kekuasaan terhadap Republik tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak asing, namun juga oleh bangsanya sendiri seperti pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat
Pasca ditandatanganinya Persetujuan Renville, memaksa mobilisasi Tentara Republik Indonesia ke luar wilayah Jawa Barat namun di Jawa Barat sendiri masih terdapat grilyawan Islam militan yang dipimpin oleh seorang Jawa penganut tasawuf. Ia adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena pemikiran-pemikiran politiknya yang radikal. Kemudia ia tinggal bersama ayah angkatnya, Tjokroaminoto dan ketika ia dalam keadaan sakit keras, dalam masa penyembuhan itu, ia belajar Agama Islam dan setelahnya aktif dalam Partai Serikat Islam (PSI) sampai ia dikeluarkan dari keanggotaan partai karena tidak menyetujui keputusan partai.
Dalam kehidupannya, Kartosoewirjo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosoewirjo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah yang menjadi tempat menimba ilmu keagamaan tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabillah. Dengan pengaruhnya, Kartosoewirjo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang dijadikannya sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dimulai ketika Jawa Barat kosong sebagai akibat Perjanjian Renville yang mengharuskan 35.000 pasukan TNI ditarik mundur ke daerah RI. Namun anggota-anggota Hizbullah dan Sabillah tidak menaati perintah untuk mundur dan tetap berada di Jawa Barat serta menguasainya. Mereka menggabungkan diri menjadi Darul Islam serta membentuk Negara Islam Indonesia.
Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal dengan nama Darul Islam (DI) adalah gerakan politik yang diproklamasikannya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan Islam sebagai dasar negara.
Pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Pemerintah membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir yang seorang ketua Masyumi. Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosoewirjo ke pangkuan RI. Operasi penumpasan memakan waktu yang lama karena DI Jawa Barat mengadakan kerjasama dengan asing yang juga berniat menggulingkan Pemerintah RI.
Pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha dan dengan bantuan rakyat dalam Operasi Pagar Betis, di tahun 1962, gerombolan DI dapat dihancurkan dan S.M. Kartosoewiryo diadili dan dipidana mati.
Gerakan Darul Islam di Jawa Tengah berbeda dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat. Penggeraknya adalah Majelis Islam di bawah Amir Fatah di derah Tegal dan Brebes, Gerakan Umat Islam pimpinan Moh. Mahfudh Abdul Rachman dan pemberontak Batalyon 423 dan 426 TNI yang melakukan desersi. Tujuanmya adalah membentuk NII dan bergabung dengan NII Kartosoewirjo. Melalui pembentukan pasukan baru yang disebut dengan Banteng Raiders dan Operasi Kilat, Operasi Banteng Negara dan Operasi Guntur, di tahun 1954 gerombolan tersebut dapat dihancurkan.
Di Aceh rongrongan terhadap pemerintah dilakukan oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya adalah khawatir akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa karena diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Pada tanggal 21 September 1949 Ia mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh merupakan negara bagian NII di bawah Kartosoewirjo.
Wilayah Aceh dikuasainya sambil menyebarkan fitnah yang berusaha memperburuk nama Indonesia di mata masyarakat Aceh. Untuk menghadapinya, pemerintah terpaksa menggunakan kekuatan senjata dan melakukan operasi pembersihan di samping melakukan pelurusan atas berita fitnah tentang RI yang disebarkan pemberontak. Pada tanggal 17-28 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas inisiatif Kolonel Jasin dan didukung oleh tokoh-tokoh pemerintah daerah sehingga pemberontakan dapat diakhiri dengan jalan musyawarah.
Di Sulawesi Selatan, gerakan DI dipimpin oleh Kahar Muzakar di mana dalam operasi penumpasannya memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit sebab gerombolan pemberontak dapat memanfaatkan keadaan medan dan lebih mengenal sifat rakyat setempat dengan menanamkan rasa kesukuan. Sebab utama pemberontakan adalah ambisi dari Kahar Muzakar untuk mendapatkan kedudukan pimpinan APRIS. Selama perang kemerdekaan Ia berjuang di Jawa dan setelah perang usai Ia kembali ke asalnya dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan yang kemudian bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Kahar muzakar menuntut agar semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan tidak dapat dipenuhi dan pemerintah hanya akan memasukkan anggota KGSS ke dalamn APRIS yang lolos penyaringan. Uluran tangan pemerintah dengan pemberian perlengkapan senjata kepada anggota KGGS yang lolos penyaringan tidak digubrisnya. Ia melarikan diri ke hutan dengan perlengkapan senjata yang dibawa. Di dalam hutan ia mulai bergrilya dan menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian NII Kartosoewirjo. Operasi penumpasan pemberontakan berjalan alot dan pada Februari 1965, Ia berhasil ditembak mati.
Selain masalah pemberontakan yang dilakukan oleh orang dalam dan perang dengan Belanda, pihak Republik juga mesti menghadapi kenyataan pahit terhadap ekses-ekses negatif yang ditimbulkan akibat perang dan instabilitas politik.
Di bidang ekonomi, Indonesia mengalami Kondisi yang buruk ketika terjadi Agresi Militer Belanda I dengan terjadinya inflasi dan defisit anggaran. Hal tersebut dikarenakan ketika keadaan di dalam Republik yang terdesak sampai ke Jawa Tengah pada 1948 sangat kacau. Kekuasaan Republik secara efektif telah terdesak ke pedalaman Jawa Tengah yang padat penduduk dan kekurangan beras ditambah adanya blokade Belanda dan masuknya enam juta pengungsi ke Jawa Tengah. Pemerintah kemudian mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutupi biaya dan inflasi pun melonjak. Dengan meningkatnya inflasi dan melambungnya harga beras di pasaran, maka meningkat pula penghasilan para petani dan sebagian besar hutang-hutang dapat mereka lunasi. Sedangkan penghasilan para pekerja merosot.
Di lain pihak, pemerintah tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia, terutama mata uang Jepang dan Belanda. Kas negara dan bea cukai dalam keadaan nihil, begitu juga dengan pajak. Oleh karena itu, dengan sangat terpaksa pemerintah Indonesia menetapkan tiga mata uang sekaligus yaitu mata uang de Javasche Bank , mata uang Hindia Belanda dan mata uang pemerintahan Jepang. Pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan lain yaitu menasionalisasikan perusahaan dan perkebunan asing milik swasta asing, serta mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika, tetapi semua itu tidak memberikan hasil yang berarti dikarenakan adanya blokade ekonomi oleh Belanda dengan menutup akses ekspor impor yang mengakibatkan negara merugi. Pemerintah juga melakukan langkah drastis dalam bidang keuangan dengan melakukan pemotongan uang pada tanggal 19 maret 1950 yang menentukan bahwa uang yang bernilai 2,50 gulden ke atas dipotong menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengahnya. Walaupun banyak pemilik uang yang terkena imbas pemotongan uang tersebut.
Di bidang militer sendiri, pemerintah melakukan rasionalisasi terhadap angkatan perang sehingga pemerintah mulai bisa mengendalikan inflasi agar tidak cepat meningkat.
Usaha- usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengatasi masalah ekonomi adalah menyelenggarakan Konferensi Ekonomi pada bulan Februari tahun 1946. Agenda utamanya adalah usaha peningkatan produksi pangan dan cara pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan milik swasta asing.
Selain soal ekonomi, pemerintah juga harus menyelesaikan soal di bidang kepegawaian dan militer yang nanti berdampak pada masalah sosial. Selesainya perang membuat jumlah pasukan harus dikurangi untuk meminimalisai beban keuangan negara dan mereka perlu mendapat tempat penampungan bila didakan rasionalisasi. Menghadapi masalah ini pemerintah mencoba membuat usaha-usaah pembangunan untuk membuka kesempatan melanjutkan pelajaran dalam pusat-pusat pendidikan yang memberi pendidikan keahlian agar mereka memiliki kesempatan untuk menempuh karier baru
Dalam hubungannya dengan luar negeri, Kabinet Hatta menjalankan politik bebas aktif walaupun hubungan diplomatik masih lebih banyak dilakukan dengan Negara-negara Barat dibandingkan dengan Negara-negara Komunis.
























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belanda dalam menegakkan kembali hegemoni kekuasaan terhadap Republik ini dilakukan dengan cara licik. Bukan hanya lewat peperangan yang menyeret keduanya ke dalam medan pertempuran dan memakan korban, namun juga lewat perundingan yang serta merta lebih menguntungkan pihak Belanda.
Di lain pihak, orang-orang Republik dihasut dan diperalatnya untuk melawan dan mengadakan pemberontakan. Rongrongan kekuasaan yang diakibatkan oleh perang dengan Belanda dan untuk menumpas pemberontakan berimbas terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Di bidang ketatanegaraan dengan bergantinya sistem presidensiil ke sistem ministeriil yang menandai babak baru masa liberal, membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, kabinet pemerintah sering mengalami pergantian jika terjadi pertentangan dalam kabinet sehingga program kabinet ke depan tidak bisa direalisasikan secara maksimal. Pekerjaan rumah negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pun terbengkalai. Di samping pula situasi politik dalam negeri yang makin memanas dan diibaratkan sebagai politik dagang sapi karena sering terjadi tawar menawar jabatan politik dalam membentuk suatu koalisi di tubuh kabinet.
Perpecahan di dalam tubuh intern Republik ini ternyata mampu dimanfattkan oleh pihak Belanda untuk mengrogoti serta merebut satu per satu wilayah sekitar Republik dan mendirikan sebuah negara boneka sebagai tandingannya.
Kehadiran Sekutu terutama Amerika Serikat dan Inggris sebagai penengah masalah tidak membawa perubahan yang signifikan dalam menciptakan perdamaian. Walaupun ada niat baik, namun terkadang uluran tangan sebagai penengah sering diremehkan oleh Belanda . Berbagai kecaman karena melakukan berbagai agresi terhadap Republik ini pun dianggapanya sebagai angin lalu untuk terus maju mencapai apa yang menjadi keinginannya datang kembali ke Indonesia atau kecaman yang datang hanya sebatas wacana tanpa aksi yang signifikan di lapangan.



Daftar Pustaka
Notosusanto, Nugroho. 1975. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Frederick, William H. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES
Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo - Proklamasi 1908-1945). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kahin, George Mcturnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Bandung : UNS Press Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern (1200-2008). P.T. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Pranoto, Suhartono W. 2007. Penentu Krisis Proklamasi. Jakarta : Kanisius
Malik, Adam. 1962. Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi. Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono . 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama
M.M. Sucipto,W. Dari Lima Jaman Penjajahan Menuju Jaman Kemerdekaan. Jakarta : Balai Pustaka
Internet (Halaman Utama Wikipedia Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ing arso asung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani